Grid.ID – Studi Masyarakat Indonesia Anti Pemalsuan (MIAP) pada 2020 menunjukan adanya peningkatan secara signifikan pada praktik pemalsuan atas produk yang dilindungi Hak Kekayaan Intelektual (HKI).
Adapun produk yang paling rentan dipalsukan adalah software (84,25 persen), kosmetik (50 persen), farmasi (40 persen), pakaian dan barang berbahan kulit (38 persen), makanan dan minuman (20 persen), serta pelumas dan suku cadang otomotif (15 persen).
Melihat fenomena tersebut, Direktorat Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik (Ditjen IKP) Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) menggelar forum diskusi bagi generasi muda dengan tema “Lebih Paham Pentingnya Hak Kekayaan Intelektual”.
Acara yang digelar di Kota Surabaya, Jawa Timur, pada Kamis (9/11/2023) tersebut dilakukan untuk mengedukasi generasi muda mengenai HKI untuk mencegah pemalsuan produk.
Baca Juga: Kemenkominfo Gelar Forus Diskusi Publik Tentang Bela Negara di Kampus USU
Ketua Tim Kerja Informasi dan Komunikasi Hukum dan HAM Ditjen IKP Kemenkominfo, Astrid Ramadiah Wijaya menerangkan, HKI bersumber pada pemikiran bahwa karya intelektual yang telah diciptakan atau dihasilkan manusia memerlukan pengorbanan waktu, tenaga, dan biaya.
“Jadi, HKI adalah hak untuk menikmati secara ekonomis hasil dari suatu kreativitas intelektual. Sayangnya, sebagian lapisan masyarakat masih belum memahami mengenai hal ini,” jelas Astrid melalui siaran pers yang diterima Grid.ID, Jumat (10/11/2023).
Tak hanya produk atau barang konsumsi, HKI juga melindungi hak cipta produk atau karya berbentuk digital yang diatur melalui Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.
Menurut Astrid, prinsip UU Hak Cipta menganut asas yang disebut deklaratif. Itu berarti seseorang yang mewujudkan ciptaannya dalam bentuk nyata dan diumumkan terlebih dahulu akan memperoleh hak atas ciptaannya tersebut.
Baca Juga: Sukseskan Pemilu 2024, Kemenkominfo Ajak Generasi Muda Miliki Sikap Kritis dan Demokratis
“Hak cipta sebagai hak eksklusif melekat kepada diri penciptanya sehingga penggunaan atas ciptaan seseorang harus dilakukan dengan izin dari pencipta atau pemegang hak cipta. Hak cipta juga terdiri atas hak moral dan hak ekonomi,” terang Astrid.
Astrid mencontohkan, salah satu bentuk pelanggaran hak cipta digital adalah mengunggah sesuatu di media sosial dengan menggunakan karya orang lain, baik dalam bentuk teks, foto, maupun video.
“Jadi, mari kita tingkatkan pengetahuan dan kesadaran terhadap pentingnya HKI dalam kehidupan keseharian kita. Mari kita lebih cermat dan bijak dalam menghargai Hak Kekayaan Intelektual yang dimiliki seseorang,” pungkas Astrid.
Sudah ada sejak zaman pemerintahan Belanda
Sebagai informasi, peraturan HKI sudah diterapkan di Indonesia bahkan sejak zaman penjajahan. Kala itu, pemerintah kolonial Belanda memperkenalkan undang-undang perlindungan HKI pada 1844.
Baca Juga: Bijak Berekspresi di Ruang Digital, Kemenkominfo Dorong Anak Muda Paham UU ITE
Hal itu dijelaskan lebih lanjut oleh Penyuluh Hukum Madya Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) Provinsi Jawa Timur Wiwin Winarti S.H, M.H yang turut menjadi salah satu pembicara pada forum diskusi tersebut.
“Beberapa peraturan perundang-undangan HKI yang dibuat Belanda saat itu adalah UU Merek pada 1885, UU Paten pada 1910, dan UU Hak Cipta pada 1912,” jelas Wiwin.
Namun, tiga peraturan tersebut mengalami perubahan dan revisi sesuai dengan perkembangan zaman. Perubahan terakhir terjadi pada 2001, di mana pemerintah Indonesia mengesahkan UU Nomor 14 tahun 2001 tentang Paten dan UU Nomor 15 tahun 2001 tentang Merek yang menggantikan UU yang lama di bidang terkait.
“Terutama yang secara umum pembaruan pada merek, paten, dan hak cipta,” imbuh Wiwin.
Sayangnya, hingga saat ini, masih banyak masyarakat yang belum mengetahui dan memahami UU HKI, sehingga sering terjadi pelanggaran HKI secara tidak sengaja.
Baca Juga: Dorong Pemuda Papua Berdaya Saing, Kemenkominfo Gelar Forum Literasi Demokrasi
“Maka, saya menyarankan masyarakat mencari informasi secara daring terkait UU HKI ini melalui situs Kementerian Hukum dan HAM. Semua sudah online, lebih mudah,” kata Wiwin.
Tak hanya sertifikat merek, Wiwin mengungkapkan bahwa skripsi termasuk karya Hak Cipta yang bisa dibuatkan sertifikatnya.
”Beberapa waktu lalu, ada adik-adik mahasiswa yang mendaftarkan skripsinya untuk mendapatkan Sertifikat Hak Cipta,” ungkap Wiwin.
Untuk mendapatkan sertifikat HKI skripsi, kata Wiwin, mahasiswa tidak harus mendatangi kantor Kemenkumham. Seluruh proses pendaftaran dan verifikasi dapat dilakukan secara online.
“Sudah sejak akhir tahun 2019, masyarakat sudah bisa daftar secara online untuk mendaftarkan merk, hak cipta, dan hak paten. Sehingga, proses mendapatkan sertifikat HKI bisa lebih gampang dan lebih cepat,” papar Wiwin.
Sementara itu, Evan Driyanada dan Attina Nuraini yang merupakan pendiri usaha Mannequin Plastic mengajak generasi muda, khususnya perintis usaha, untuk mempelajari UU HKI lebih cermat.
“Dengan sudah mendaftarkan karya kita sebelumnya, UU HKI membentengi karya kita ketika dijiplak dan diperbanyak untuk meraih keuntungan oleh orang lain,” kata Evan.
Dalam kesempatan itu, Evan dan Attina juga membagikan beberapa kiat membuat desain yang baru dan menggali nama-nama merek yang unik, serta memberikan kiat-kiat agar proses verifikasi HKI oleh Kemenkumham berlangsung lebih cepat.
Kimberly Ryder Klarifikasi soal Lemari Plastik yang Jadi Omongan Netizen, Ada Sejarah Miris di Baliknya
Penulis | : | Yussy Maulia |
Editor | : | Sheila Respati |