Melukis adalah upaya untuk memperjuangkan nilai-nilai yang mereka anut, yaitu keberpihakan pada rakyat – begitulah kira-kira gambaran prinsip yang dipegang oleh Djoko Pekik da kawan-kawan Sanggar Bumi Tarung.
Setelah beberapa tahun Djoko Pekik terhenti untuk melukis, akhirnya ia mendapat ruang kembali untuk berkarya pada tahun 1990. Kemudian, pada tahun 1993 ia menggelar pameran tunggal di Taman Budaya Jawa Tengah yang berlokasi di Solo.
Puncak kondangnya nama Djoko Pekik ketika ia menggelar pameran tunggal di Bentara Budaya Yogyakarta pada tanggal 16 Agustus 1998 dengan menampilkan satu karya berjudul “Berburu Celeng” yang laku dengan harga satu milyar.
Dalam kurun waktu tersebut, Djoko Pekik mampu melukiskan kondisi Indonesia yang sedang dilanda krisis berkepanjangan. Sejak saat itu, nama Djoko Pekik tampil kembali di dunia seni rupa Indonesia.
Kisah ini selalu diingat kebanyakan orang ketika membicarakan sosok Djoko Pekik. Tema lukisan Sang Maestro ini sepertinya menjadi ciri khas, berbeda dengan yang lain, di saat kehidupan kesenian di Yogyakarta mengalami banyak dinamika.
Konsistensi untuk berpihak pada yang lemah dan terpinggirkan, itulah ciri khas lukisan Djoko Pekik.
Kisah Djoko Pekik tidak hanya tentang “Berburu Celeng”, tetapi ia menjadi bagian dari sejarah penting seni rupa Indonesia.
Dalam kehidupan sehari-hari, Djoko Pekik menjadi bagian dari pergaulan kawan-kawan perupa di Yogyakarta. Ia pun terlibat dalam berbagai kegiatan seni rupa di Yogyakarta dan menjadi sahabat bagi perupa-perupa muda saat itu.
Hal ini menunjukkan bahwa Djoko Pekik menjadi pengikat tali persahabatan para perupa pada masa itu.
Perjalanan Sang Maestro Djoko Pekik memang penuh warna. Bahkan saat dirinya keluar dari tahanan, kebebasan justru menjadi hal langka baginya. Ia pun hidup dalam kesulitan.
Sebagai seorang pelukis, ia tidak mudah mengadakan pameran. Oleh karena itu, untuk menghidupi keluarganya Djoko Pekik berjualan kain lurik yang dibelinya di Cawas dan Bayat, Klaten.
Kemudian, dibuatlah toko berlokasi di Wirobrajan dengan nama “Logro”. Dari tempat inilah Djoko Pekik mampu menghidupi keluarganya sebelum akhirnya ia kembali melanjutkan kehidupan sebagai seorang pelukis.
Lika-liku kehidupan Djoko Pekik menunjukkan daya tahannya dalam menghadapi berbagai tantangan.
Tempat kelahirannya, di Purwodadi, daerah yang dikelilingi hutan jati dan tandus, kondisi keprihatinan ini justru menguatkan tekadnya untuk melanjutkan kehidupan di Yogyakarta.
Baca Juga: Running Man Siap Guncang Layar Kaca dengan Episode Khusus 'Tazza' bersama V BTS dan Yoo Seung Ho
Ia pun mulai menjalani hidup di Yogyakarta dengan sekolah seni. Sejak duduk di bangku kuliah, Djoko Pekik memulai karir sebagai perupa bersamaan dengan tergabungnya dalam Sanggar Bumi Tarung.
Melalui sanggar ini Djoko Pekik dapat memahami kehidupan masyarakat yang sesungguhnya.
Situasi politik yang berubah mempengaruhi jalan hidup Djoko Pekik. Tantangan-tantangan inilah yang menguatkan dirinya untuk tetap tekun dengan pilihan seni rupanya yang khas. Ia pun dikenal sebagai perupa dengan semangat kerakyatan.
Bentara Budaya mengundang para #SahabatBentara untuk hadir dalam pameran seni rupa ini.
Pameran ini menjadi momen penting untuk kita bersama-sama mengenang sosok maestro seni Djoko Pekik. Melalui pameran ini, diharapkan dapat menjadi simbol dunia seni menghantarkan mendiang Djoko Pekik menuju tempat terbaik di sisi-Nya.
(*)
Sulit Ceraikan Erin Taulany? Permohonan Talak Andre Taulany Sampai Ditolak 2 Kali oleh Hakim, Ini Penyebabnya: Tidak Terbukti
Penulis | : | Grid. |
Editor | : | Winda Lola Pramuditta |