Grid.ID - Bentara Budaya menghadirkan pameran bersama 100-an seniman dari berbagai penjuru daerah, untuk memperingati 100 hari kepergian Sang Maestro seni, Djoko Pekik.
Pameran bertajuk “Nguntapke Djoko Pekik” sebagai wujud harapan untuk menghantarkan sang maestro menuju singgasana abadinya.
Para seniman dengan jumlah 100 orang lebih, sangat antusias untuk merespon peringatan 100 hari Djoko Pekik.
Respon ini dituangkan dalam wujud karya-karya seni yang akan ditampilkan di Bentara Budaya.
Pameran dibuka pada Rabu, 22 November 2023, Pukul 19.00 WIB, berlokasi di Bentara Budaya Yogyakarta Jl Suroto no.2, Kotabaru, Yogyakarta, oleh dr. Oei Hong Djien (Pendiri dan Kurator OHD Museum).
Pameran berlangsung dari 23-28 November 2023, Pukul 10.00 hingga 21.00 WIB.
Djoko Pekik menghembuskan nafas terakhirnya di dunia pada tanggal 12 Agustus 2023 lalu dalam usianya ke-86 tahun. Peristiwa ini membuat dunia seni Indonesia berkabung atas berpulangnya sang maestro seni lukis Indonesia.
Meskipun kini Pak Pekik telah tiada, warisan seni dan semangat untuk terus berkarya akan terus hidup mengalir dalam nadi para seniman, membimbing dan menginspirasi dalam setiap penciptaan karya seni.
Semangat juang inilah yang akan tetap abadi tak tergerus oleh waktu.
Sang maestro seni Indonesia kini telah pergi dengan meninggalkan warisan seni dan semangat berkarya bagi dunia seni Indonesia. Ia meninggalkan kesan sebagai sosok manusia yang mencintai kehidupan. Inilah yang ingin diperingati pada hari ke-100 tepat berpulangnya Djoko Pekik.
Respon para sahabat seniman menampilkan hasil On the Spot saat sebelum pemberangkatan jenazah Sang Mestro Djoko Pekik ke persemayaman terakhirnya. Dalam upaya peringatan 100 hari ini, digelar pameran bertajuk “Nguntapke Djoko Pekik” untuk mengapresiasi antusias para seniman.
#SahabatBentara, menjelang hari peringatan 100 hari dan sebelum kita bersama mengapresiasi respon para seniman, alangkah baiknya kita mengenang kembali sosok Djoko Pekik.
Djoko Pekik merupakan sosok perupa penting dalam sejarah seni rupa Indonesia. Ia menempuh pendidikan di ASRI pada tahun 1957 dan lulus pada tahun 1962. Ia tergabung dalam keanggotaan Sanggar Bumi Tarung yang dianggap kiri pada masa orde baru.
Hal ini menjadi tantangan sendiri bagi Djoko Pekik dan kawan-kawan sanggar untuk tampil sebagai seniman. Maka, tidak mengherankan jika nama Djoko Pekik kurang dikenal kebanyakan orang pada masa orde baru.
Tentu saja periode ini menjadi satu era yang sulit dihadapi bagi Djoko Pekik dan kawan-kawan sanggar. Meskipun demikian, maestro seni ini memegang idealis dalam berkarya. Begitu juga mereka yang menjadi bagian dari Sanggar Bumi Tarung pun dikenal teguh memegang prinsip dalam berkaya.
Melukis adalah upaya untuk memperjuangkan nilai-nilai yang mereka anut, yaitu keberpihakan pada rakyat – begitulah kira-kira gambaran prinsip yang dipegang oleh Djoko Pekik da kawan-kawan Sanggar Bumi Tarung.
Setelah beberapa tahun Djoko Pekik terhenti untuk melukis, akhirnya ia mendapat ruang kembali untuk berkarya pada tahun 1990. Kemudian, pada tahun 1993 ia menggelar pameran tunggal di Taman Budaya Jawa Tengah yang berlokasi di Solo.
Puncak kondangnya nama Djoko Pekik ketika ia menggelar pameran tunggal di Bentara Budaya Yogyakarta pada tanggal 16 Agustus 1998 dengan menampilkan satu karya berjudul “Berburu Celeng” yang laku dengan harga satu milyar.
Dalam kurun waktu tersebut, Djoko Pekik mampu melukiskan kondisi Indonesia yang sedang dilanda krisis berkepanjangan. Sejak saat itu, nama Djoko Pekik tampil kembali di dunia seni rupa Indonesia.
Kisah ini selalu diingat kebanyakan orang ketika membicarakan sosok Djoko Pekik. Tema lukisan Sang Maestro ini sepertinya menjadi ciri khas, berbeda dengan yang lain, di saat kehidupan kesenian di Yogyakarta mengalami banyak dinamika.
Konsistensi untuk berpihak pada yang lemah dan terpinggirkan, itulah ciri khas lukisan Djoko Pekik.
Kisah Djoko Pekik tidak hanya tentang “Berburu Celeng”, tetapi ia menjadi bagian dari sejarah penting seni rupa Indonesia.
Dalam kehidupan sehari-hari, Djoko Pekik menjadi bagian dari pergaulan kawan-kawan perupa di Yogyakarta. Ia pun terlibat dalam berbagai kegiatan seni rupa di Yogyakarta dan menjadi sahabat bagi perupa-perupa muda saat itu.
Hal ini menunjukkan bahwa Djoko Pekik menjadi pengikat tali persahabatan para perupa pada masa itu.
Perjalanan Sang Maestro Djoko Pekik memang penuh warna. Bahkan saat dirinya keluar dari tahanan, kebebasan justru menjadi hal langka baginya. Ia pun hidup dalam kesulitan.
Sebagai seorang pelukis, ia tidak mudah mengadakan pameran. Oleh karena itu, untuk menghidupi keluarganya Djoko Pekik berjualan kain lurik yang dibelinya di Cawas dan Bayat, Klaten.
Kemudian, dibuatlah toko berlokasi di Wirobrajan dengan nama “Logro”. Dari tempat inilah Djoko Pekik mampu menghidupi keluarganya sebelum akhirnya ia kembali melanjutkan kehidupan sebagai seorang pelukis.
Lika-liku kehidupan Djoko Pekik menunjukkan daya tahannya dalam menghadapi berbagai tantangan.
Tempat kelahirannya, di Purwodadi, daerah yang dikelilingi hutan jati dan tandus, kondisi keprihatinan ini justru menguatkan tekadnya untuk melanjutkan kehidupan di Yogyakarta.
Baca Juga: Running Man Siap Guncang Layar Kaca dengan Episode Khusus 'Tazza' bersama V BTS dan Yoo Seung Ho
Ia pun mulai menjalani hidup di Yogyakarta dengan sekolah seni. Sejak duduk di bangku kuliah, Djoko Pekik memulai karir sebagai perupa bersamaan dengan tergabungnya dalam Sanggar Bumi Tarung.
Melalui sanggar ini Djoko Pekik dapat memahami kehidupan masyarakat yang sesungguhnya.
Situasi politik yang berubah mempengaruhi jalan hidup Djoko Pekik. Tantangan-tantangan inilah yang menguatkan dirinya untuk tetap tekun dengan pilihan seni rupanya yang khas. Ia pun dikenal sebagai perupa dengan semangat kerakyatan.
Bentara Budaya mengundang para #SahabatBentara untuk hadir dalam pameran seni rupa ini.
Pameran ini menjadi momen penting untuk kita bersama-sama mengenang sosok maestro seni Djoko Pekik. Melalui pameran ini, diharapkan dapat menjadi simbol dunia seni menghantarkan mendiang Djoko Pekik menuju tempat terbaik di sisi-Nya.
(*)
Penulis | : | Grid. |
Editor | : | Winda Lola Pramuditta |