Grid.ID - Setiap tahun pada tanggal 1 Desember masyarakat dunia memperingati Hari AIDS Sedunia dengan berbagai ekspresi.
Peringatan itu digelar untuk menyatakan solidaritas terhadap mereka yang terkena dampak HIV, memberi dukungan moral kepada mereka yang hidup dengan HIV, dan untuk menghormati kenangan mereka yang kehilangan nyawa karena AIDS.
Tahun 2022 tercatat ada sebanyak 630 ribu orang meninggal dunia akibat AIDS, dengan 26 ribu kasus kematian akibat AIDS di Indonesia.
Diperkirakan 1,3 juta orang di seluruh dunia tertular HIV pada tahun 2022, yang berarti penurunan infeksi HIV baru sebesar 38 persen sejak tahun 2010 dan 59 persen sejak puncaknya pada tahun 1995.
Baca Juga: Disinggung Soal Punya Anak, Luna Maya Jawab Soal Childfree dan Adopsi
Untuk menghambat pertumbuhan sel virus HIV di dalam tubuh orang dengan HIV/AIDS (ODHA) perlu kemudahan akses pengobatan anti retro viral (ARV).
Pada faktanya, jika melihat cascade global, 1 dari 4 orang dengan HIV (ODHIV) tidak memiliki akses ke ARV, menandai peningkatan dari tahun 2015, di mana hanya 1 dari 2 ODHIV yang memiliki akses.
"Namun di Indonesia, gap-nya lebih besar, dengan 2 dari 3 ODHIV tidak memiliki akses ke ARV," ungkap Direktur UNAIDS untuk Indonesia Tina Boonto di Jakarta, Selasa (28/11/2023).
Data UNAIDS menunjukkan adanya ketimpangan pendanaan pada program pencegahan HIV yang dipimpin komunitas di kawasan Asia Pasifik.
Di Indonesia, hanya 7 persen dari total pengeluaran program HIV pada tahun 2020 untuk dialokasikan ke dalam program populasi kunci.
Sulitnya mengakhiri AIDS ini juga tak lepas dari anggapan bahwa komunitas sebagai masalah yang perlu ditangani, bukan sebagai pemimpin utama dalam menjalankan program.
Padahal komunitas dan masyarakat sipil memiliki peran vital dari kampanye hingga pengobatan HIV sampai memastikan hak-hak dasarnya terpenuhi.
Untuk itu UNAIDS baru meluncurkan Laporan World AIDS Day yang sesuai dengan tema tahun ini, "Let Communities Lead."
Dalam lebih dari 40 tahun respon terhadap HIV, peran komunitas terbukti krusial.
Laporan ini menunjukkan bahwa ancaman AIDS dapat diakhiri pada 2030 jika komunitas mendapatkan dukungan penuh.
"Dalam media briefing kali ini, saya akan highlight beberapa hal positif yang telah terjadi di program HIV karena adanya engagement bermakna komunitas," kata Tina.
"Aktivisme komunitas selama lebih dari 40 tahun ini telah berhasil membuat breakthroughs dalam respons HIV, misalnya dalam memastikan life-saving medicines tersedia dan dapat diakses," lanjutnya.
Melalui komunitas dan gerakan masyarakat sipil, perlawanan terhadap stigma terhadap ODHIV bisa berjalan lebih masif.
Baca Juga: Sidang Kasus Penyebaran Video Syur Rebecca Klopper Ditunda Pekan Depan
Tentu dengan peran pemerintah yang berani menjamin hak asasi mereka dilindungi.
Di tahun ini, untuk pertama kalinya, mekanisme akuntabilitas HAM untuk diskriminasi berbasis HIV telah dibentuk oleh Komnas HAM berkat advokasi dari komunitas.
"Sekarang, setiap orang yang mengalami diskriminasi berbasis HIV dapat mengajukan pelaporan dan pengaduan kepada Komnas HAM untuk mendapatkan akses ke keadilan dan upaya pemulihan hak," papar Tina.
"Di sisi lain, untuk mengakomodir ODHIV dan populasi kunci masih sulit akses jenis layanan yang dibutuhkan, kita telah melakukan capacity building 95 penyedia layanan dari berbagai sektor, layanan KBG, psikososial, bantuan hukum, dan HKSR untuk bisa memberikan layanan yang aman dan nyaman bagi ODHIV dan populasi kunci," tambah Tina.
Demi mengakhiri AIDS di dunia, komunitas harus diberi ruang untuk memimpin dalam setiap perencanaan dan program-program untuk mengakhiri HIV.
"Peran kepemimpinan komunitas dijadikan inti dalam semua rencana dan program HIV, karena “nothing about us without us”. Peran kepemimpinan komunitas harus mendapatkan pendanaan penuh dan dapat diandalkan," sebut Tina.
Menurutnya, memerankan komunitas sebagai pemimpin dalam program mengakhiri AIDS ini bukan sekadar wacana, namun itu menjadi langkah kongkret untuk menuju capaian bersama.
"Yang tak kalah penting, implementasikan aturan dan hukum yang mendukung ruang bagi komunitas untuk beroperasi dan melindungi hak asasi manusia, termasuk semua populasi kunci dan ODHIV," tuturmya.
Di sisi lain, UNAIDS menekankan pentingnya Pre-Exposure Profilaksis atau PrEP untuk melindungi diri dari penularan HIV dengan mengkonsumsi tablet sekali sehari setiap hari.
Hasil dari penggunaan PrEP ini terbukti cukup efektif dengan dorongan komunitas.
Hingga saat ini, jumlah PrEP user telah mencapai 8 ribu user, bahkan tahun depan PrEP akan tersedia di 95 district di Indonesia.
"Komunitas punya peran penting dalam advokasi dan penjangkaun yang luas terhadap program PrEP. Hal ini terlihat dari Januari hingga Oktober 2023, dengan adanya PrEP champion telah berhasil ajak 1,277 orang untuk akses PrEP, baik yang dirujuk dari Rujukan Statis, Rujukan Mobile PrEP, Referal test JKT, Referal Saya Berani, dan Tanya Marlo," sebutnya.
Sementara itu, Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Kementerian Kesehatan, Imran Pambudi menyampaikan, Kemenkes mencatat jumlah kasus ODHA tahun 2023 sebanyak 515.455 jiwa.
Jumlah itu kemungkinan bisa bertambah jika penelusuran kasus dilakukan secara serius dan dilakukan bersama-sama.
"Peran komunitas sangat penting, utamanya untuk mendukung temuan kasus pada kelompok populasi kunci teman-teman HIV/AIDS dan teman-teman komunitas ini sekarang juga sudah harus naik kelas," kata Imaran.
Kemenkes memiliki komitmen untuk mengakhiri AIDS dengan target 3 zero kasus pada 2030 untuk memutus penyebaran HIV/AIDS, Zero New HIV Infection (nol penyebaran baru) dengan target 95 persen orang dengan HIV mengetahui statusnya, dan Zero AIDS Related Death (nol kematian) dengan target 95 persen orang dengan HIV (ODHIV) mendapatkan pengobatan antiretroviral (ARV).
Kemudian Zero Discrimination (nol diskriminasi), di mana ODHIV yang sedang mendapatkan ARV virus tersupresi (jumlah virus dalam tubuh rendah).
Imran menjelaskan hingga saat ini masih ada batasan besar mulai dari ditemukan kasus HIV sampai dengan pasien mendapatkan pengobatan.
"Inilah pentingnya kolaborasi petugas kesehatan dengan komunitas, jadi sedini mungkin memasukkan mereka ke fasilitas kesehatan agar segera mendapatkan ARV atau ARV tersupresi," jelasnya.
(*)
Penulis | : | Dianita Anggraeni |
Editor | : | Dianita Anggraeni |