Grid.ID – Parkinson merupakan salah satu penyakit neurodegeneratif yang menghantui masyarakat di Indonesia.
Mengapa demikian? Saat ini Indonesia tergolong negara aging population di mana sekitar 13% populasinya berusia lebih dari 60 tahun sehingga rawan terkena Parkinson.
Selain itu, faktor lingkungan, polusi, gaya hidup juga memiliki andil seseorang terkena penyakit Parkinson.
Untuk lebih detail penjelasan mengenai penyakit Parkinson, kita simak ulasan yang diberikan tim dokter spesialis saraf Grup RS Siloam yaitu dr. Rocksy Fransisca V. Situmeang, Sp.N dan dr. Frandy Susatia, Sp.S, RVT berikut ini.
Apa yang Dimaksud dengan Parkinson?
Parkinson merupakan penyakit neurodegeneratif dalam artian terjadinya proses penuaan pada sistem saraf di otak saat zat dopamin yang dihasilkan terus mengalami penurunan hingga 30%.
Menurut Saman Zafar & Sridhara S.Yaddanapudi (2023) dari National Library of Medicine, menyebutkan bahwa setiap 1% orang berusia di atas 60 tahun terkena Parkinson.
Namun, seiring berjalannya waktu dan umur seseorang, penuaan sistem saraf pun terus mengalami kemunduran dan bisa terjadi mulai pada usia 50, 40, hingga usia 30 tahun.
”Secara teori, sebesar 15% penyakit Parkinson dipengaruhi dari faktor genetik. Namun, dengan pemahaman secara medis yang semakin baik mengenai pengaruh genetik dalam penyakit Parkinson, genetik dapat menjadi menjadi faktor yang bisa menurunkan penyakit Parkinson,” ujar dr. Rocksy Fransisca V. Situmeang, Sp.N, dokter spesialis saraf RS Siloam Lippo Village Tangerang yang mengutip dari Ted Dawson, M.D., Ph.D., Director of the Institute for Cell Engineering, John Hopkins Medicine.
Gejala Penyakit Parkinson
Menurut dr. Rocksy, gejala pada penyakit Parkinson bisa disingkat menjadi akronim TRAP, yaitu:
• Tremor (Bergetar): Tremor adalah gejala paling umum pada Parkinson.
Tremor umumnya terlihat pada tangan sering terjadi dimulai saat istirahat.
Tremor ini biasanya terasa di satu sisi tubuh terlebih dahulu, kemudian menyebar ke sisi lain seiring dengan perkembangan penyakit.
• Rigidity (Kekakuan): Kekakuan otot dapat membuat gerakan tubuh menjadi terhambat dan sulit dilakukan.
Kekakuan otot yang paling sering terjadi pada Parkinson adalah kekakuan pada lengan, tungkai, dan leher.
• Akinesia (Gerakan Lebih Lambat): Akinesia atau bradikinesia merujuk pada gerakan yang menjadi lebih lambat.
Gerakan seperti berjalan, bicara dan aktivitas lain menjadi terganggu.
• Postural Instability (Ketidakstabilan Postur): Ketidakstabilan postur adalah gejala yang ditandai dengan ketidakmampuan untuk menjaga keseimbangan dan postur tubuh yang baik.
Baca Juga: Cerai dari Ammar Zoni, Irish Bella Akui Hidupnya Lebih Tertata: Bersyukur Banget Sekarang
Pasien Parkinson sering kali memiliki ketidakstabilan saat berdiri atau berjalan, sehingga berisiko jatuh.
Selain gejala di atas, ada yang disebut gejala secara non motorik, seperti susah untuk tidur, gangguan penciuman, gangguan bab, dan susah menelan.
Perawatan Khusus Penyakit Parkinson
Ketika seseorang terkena penyakit Parkinson, yang pertama dilakukan adalah pergi ke dokter spesialis saraf untuk pengecekan lebih lanjut.
Pemberian obat-obatan yang tepat dari dokter akan meningkatkan kualitas hidup seorang pasien menjadi lebih baik.
Selain mengonsumsi obat-obatan, tentu pasien penyakit Parkinson juga membutuhkan latihan secara rutin untuk melatih gerak otot agar tidak mengalami kekakuan.
Pada penyandang Parkinson juga perlu diimbangi dengan nutrisi yang cukup agar menjaga badan pasien Parkinson tetap fit.
Perhatikan Pola Hidup Sehat untuk Meminimalkan Risiko Parkinson
”Parkinson merupakan penyakit yang tidak bisa dicegah namun kita dapat meminimalkan seseorang tersebut terkena Parkinson dengan memperbaiki pola hidup kita,” ujar dr. Rocksy.
Lebih lanjut, dokter yang merupakan lulusan Universitas Indonesia ini menyebutkan jika mengonsumsi makanan bergizi, air putih yang cukup, buah dan sayur yang alami (tanpa pestisida), serta menjaga lingkungan tetap bersih sehingga kualitas udara di sekitar tetap terjaga dapat membantu seseorang untuk meminimalisir terkena penyakit Parkinson.
Satu lagi yang tidak kalah penting, tingkat stres juga dapat memengaruhi seseorang terkena Parkinson.
Oleh karena itu, perlu untuk terus mengontrol emosi pada diri kita sendiri dan menghindari hal-hal yang dapat memicu stres kita naik.
Jenis Pengobatan pada Parkinson
Terdapat 3 (tiga) jenis pengobatan yang dapat digunakan ke pasien Parkinson, melalui obat-obatan, terapi fisik, dan dengan metode operasi.
Berikut merupakan penjelasan singkat mengenai ketiga jenis pengobatan tersebut:
• Obat
Obat-obatan menjadi metode utama dalam mengelola penyakit Parkinson.
Dokter dapat meresepkan berbagai macam obat yang bertujuan untuk mengontrol gejala dan meningkatkan kualitas hidup pasien.
• Terapi Fisik
Fisioterapi menjadi bagian penting dalam manajemen penyakit Parkinson.
Terapis fisik akan bekerja sama dengan pasien untuk mengembangkan program latihan khusus yang bertujuan untuk meningkatkan kekuatan, keseimbangan, dan koordinasi gerakan.
Latihan conditioning dan pelatihan keseimbangan dapat membantu pasien meningkatkan kemampuan bergerak dan mengurangi risiko jatuh.
• Deep Brain Stimulation (DBS)
DBS adalah sebuah prosedur bedah yang ditujukan untuk mengurangi gejala Parkinson yang tidak terkontrol dengan obat-obatan.
Proses ini melibatkan penanaman elektroda tipis ke dalam area otak yang bertanggung jawab akan kontrol gerakan.
Elektroda tersebut dihubungkan dengan sebuah perangkat. Pemilihan pas yang sesuai dan evaluasi yang cermat diperlukan untuk memastikan keberhasilan dan keamanan prosedur ini.
Baca Juga: 3 Shio Beruntung Hari Ini Senin 20 Mei 2024, Ada Rezeki Melimpah untuk Keluarga
Jenis Obat dan Terapi untuk Penderita Parkinson
Menambahkan informasi dari dr. Rocksy mengenai jenis pengobatan pada Parkinson, dr. Frandy Susatia, Sp.S, RVT yang merupakan salah satu dokter spesialis saraf di RS Siloam Kebon Jeruk memberikan penjelasan mengenai jenis obat dan terapi yang dapat digunakan untuk penderita Parkinson.
Menurut dr. Frandy, terdapat beberapa jenis obat dan terapi Parkinson, yaitu:
• Obat-obatan
Pemberian obat-obatan bertujuan untuk meningkatkan atau menggantikan dopamin dalam tubuh.
Jenis obat-obatan yang dapat diresepkan oleh dokter antara lain:
a. Antikolinergik, yang berfungsi untuk mengurangi tremor pada pasien penderita Parkinson.
b. Levodopa, jenis obat ini juga digunakan untuk menangani gangguan gerak tubuh dan tremor.
c. Agonis Dopamin, untuk menggantikan fungsi dopamin di dalam otak pada pasien Parkinson.
• Terapi
Berikutnya, ada beberapa terapi yang dapat dianjurkan oleh dokter untuk menangani penyakit Parkinson, yaitu:
a. Fisioterapi: Bertujuan untuk membantu mengatasi kaku otot dan nyeri di sendi sehingga meningkatkan kemampuan gerak dan kelenturan tubuh.
Fisioterapi juga bertujuan untuk meningkatkan stamina dan kemampuan pasien dalam beraktivitas sehari-hari secara mandiri.
b. Terapi Wicara: Dapat dianjurkan oleh dokter bila pasien kesulitan berbicara dan menelan air liur atau makanan.
Biasanya dokter akan melatih pasien berbicara (berlatih vokal) dan pernapasan.
c. Psikoterapi: Pada pasien yang juga mengalami depresi atau stres yang sering dialami oleh penderita Parkinson, dokter akan menganjurkan untuk menjalani terapi dengan psikolog.
d. Terapi Okupasi: Terapi okupasi dapat membantu meningkatkan kemampuan penderita Parkinson dalam menjalani aktivitas sehari-hari dengan mandiri seperti mandi, berpakaian, berjalan, dan aktivitas keseharian lainnya.
Tujuan terapi ini adalah untuk mempertahankan dan meningkatkan kemandirian hidup pasien agar sebisa mungkin tetap bisa mandiri tanpa bergantung kepada orang lain.
Penggunaan Teknologi untuk Membantu Penderita Parkinson
“Saat ini sudah menjadi sebuah tren penggunaan wearable device seperti jam tangan yang dapat digunakan untuk membantu dalam mengatur kebutuhan seseorang dalam sehari-hari,” ujar dr. Frandy.
Penggunaan jam tangan misalnya, dapat digunakan untuk mengontrol waktu tidur kita agar cukup untuk beristirahat, reminder dalam jadwal konsumsi obat, kinatometer yang dapat digunakan untuk menghitung seberapa banyak getaran yang dimiliki untuk membantu dalam kontrol keseharian penderita Parkinson.
Selain penggunaan wearable device, dr. Frandy juga menjelaskan sedikit mengenai Deep Brain Stimulation (DBS) yang memiliki fungsi utama untuk mencegah penderita Parkinson menjadi semakin parah.
Menurut dr. Frandy, penggunaan DBS dilakukan tahap awal seseorang menderita Parkinson agar penyakit tersebut tidak bertambah parah dan mencapai maksimal benefit dari alat tersebut.
“Jika DBS dilakukan pada pasien tingkat lanjut Parkinson, terdapat risiko tinggi dalam operasi, kualitas hidup pasien juga sudah menurun (tidak bisa bergerak, tidak bisa menelan),” tambah dr. Frandy.
Lebih lanjut lagi, dr. Frandy menjelaskan bahwa terdapat 3 (tiga) tujuan DBS yang perlu diketahui, yaitu:
a. Mengurangi komplikasi motorik: Ketika pasien sudah mengalami susah bergerak atau menggunakan motoriknya, DBS bisa menjadi opsi solusi agar efek komplikasi motorik akibat Parkinson berkurang.
b. Mengurangi dosis obat yang dikonsumsi: Seseorang yang menderita Parkinson tentunya memiliki obat-obatan yang rutin untuk dikonsumsi. Penggunaan obat-obatan dengan dosis tertentu dapat mengakibatkan efek samping bagi pasien, sehingga dengan adanya DBS diharapkan penggunaan obat-obatan dapat berkurang.
c. Mengatasi tremor: Salah satu ciri penderita Parkinson adalah tremor meskipun tidak semua tremor mengarah ke penyakit Parkinson. Dengan dipasangnya DBS, pasien Parkinson dapat mengatasi tremor sehingga kualitas hidup bisa lebih baik.
Pada umumnya, perawatan Parkinson memerlukan pendekatan multidisiplin yang melibatkan kerja sama antara dokter, terapis fisik, terapis okupasi, serta tim medis yang komprehensif.
Setiap pasien Parkinson memiliki kebutuhan khusus, maka itu penting untuk berkonsultasi dengan dokter yang memiliki spesialisasi dalam pengobatan Parkinson untuk menentukan strategi pengobatan yang terbaik sesuai dengan kondisi dan kebutuhan masing-masing pasien.
(*)
Viral, Pembeli Curhat Disuruh Bayar Biaya Pakai Sendok dan Garpu Saat Makan di Warung Mie Ayam, Nota Ini Jadi Buktinya
Penulis | : | Dianita Anggraeni |
Editor | : | Dianita Anggraeni |