Duduk diatas batang pohon yang sudah rubuh sambil mengisap rokok dalam-dalam Ruslan menceritakan dulu jumlah kakatua di Moyo mencapai ribuan ekor namun sekarang hanya tinggal puluhan saja. Proses perkembangbiakkannya kakatua sendiri berjalan lambat. Setiap musim telur, seekor kakatua betina hanya bertelur dua butir untuk dierami. Dan biasannya para pemburu liar mencuri anakan kakatua yang barusan pecah dari cangkangnya dengan cara dirogoh dari luar lubang sarang. “Karena yang diambil adalah anakan sehingga tidak ada proses regenerasi jadinya lama kelamaan jumlahnya semakin sedikit,” ujarnya.
Ruslan yang sudah menjelajah ke seluruh sudut hutan pulau Moyo tersebut mencatat saat ini ada 13 sarang burung yang masing-masing sarangnya didiami sekitar 4-8 ekor burung. “Sebagian besar kakaktua membuat sarang di pohon binong di ketinggian sekitar 15-20 meter dari atas tanah,” ujarnya.
Nama Ruslan sangat dikenal dan disegani di kalangan para pemburu liar. Karena itu pemburu liar tidak berani menjamah pohon yang ada sarang burung yang dilindungi oleh undang-undang tersebut. “Itulah mengapa setiap pohon yang diatasnya terdapat sarang burung maka dibagian bawah dekat pangkal selalu saya beri nama saya, biar mereka tidak berani macam-macam,” kata Ruslan yang keikutsertaanya sebagai tenaga MMP adalah bagian dari kerja sosial karena tidak mendapat upah dari lembaga manapun. “Kecuali setiap 2 atau 3 bulan sekali diajak patroli oleh petugas Polhut baru mendapat upah harian sebesasr Rp 150 ribu,” tambahnya.
Sebagai orang kecil yang tinggal di pulau diperlukan usaha mencari tambahan penghasilan demi menghidupi istri dan anak-anaknya. Selain sebagai pencari madu di bulan September sampai Januari sehari-hari dia juga merawat ternak milik orang lain dengan sistem bagi hasil serta berkebun jambu mete. “Kalau tidak melakukan banyak hal maka tidak cukup untuk hidup,” papar Ruslan pekerjaan sebagai pencari madu dilakukan sejak tamat SD.
Kedepannya dia akan menerima jasa memandu wisatawan yang ingin melihat habitat burung secara langsung atau memotret di alam liar. “Saya ingin orang datang ke Moyo ini tidak hanya ke air terjun saja, tapi juga ada sarana hiburan alam yang tak kalah menarik,” pungkasnya.
NYARIS PUNAH
Arya yang dikontrak oleh kementerian lingkungan hidup (KLHK) untuk membantu Badan Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) NTB ini menjelaskan bahwa projek yang dikerjakan ini berbasis landscape dalam rangka memperkuat bentang alam untuk keanekaragaman hayati berkelanjutan terutama spesies yang tarencama punah secara global. “Untuk kawasan Sumbawa pun tidak semua ada kakatua. Di pulau Moyo sendiri sekarang cuma tinggal sekitar 51 ekor,” imbuh Arya yang sudah belasan tahun aktif bekerja di berbagai LSM tersebut.
Menurut Arya pada tahun 80an data dari lembaga Pelestari dan Pengawetan Alam (PPA) serta diperkuat oleh lembaga internasional jumlah kakatua jambul kuning di Moyo ada sekitar 1600-an ekor. Namun dari hasil survei 3 bulan lalu dari 18 titik pengamatan di Moyo ini jumlah kakatua hanya tersisa 51 ekor. “Karena itu kalau tidak segera dilakukan gerakan penyelamatan maka dipastikan tidak lama lagi kakatua akan punah,” ujar Arya yang sarjana kehutanan tersebut.
Punahnya kakatua tersebut selain karena perburuan liar yang masif juga akibat pembabalakan hutan secara liar dan ditambah lagi para pembuka lahan ilegal tersebut untuk membersihkan area dengan cara dilakukan pembakaran. “Asap pembakaran hutan ini salah yang satu merusak habitat kakatua pula,” jelasnya.
Proyek yang tengah dijalankan saat ini adalah untuk mempertahankan populasi kakatua yang sudah ada tetapi kalau memang masih bisa berkembang itu adalah bonus.“ Sebab kakaktua perkembangbiakkannya sangat lamban.”
Dalam sebuah ekosistem, burung kakatua atau yang biasa disebut dengan burung paruh bengkok ini memiliki fungsi sangat penting. Kakatua disebut dengan burung pekebun hutan karena memiliki kemampuan menyebar biji ke berbagai tempat. “Kakatua kebiasannya setelah makan bijia-bjian di satu tempat kemudian dia terbang jauh ke kawasan lain. Di kawasan baru itu biji yang sudah dimakan kemudian dikeluarkan dan dibuang ke tanah kemudian tumbuh, bersemai dan tumbuh pohon-pohon baru,” papar Arya yang di Moyo ini selain melakukan konservasi penyelamatan habitat kakatua perlu diadakan peningkatan kapasitas masyarakat melalui, edukasi juga penegakan hukum.
Sampai saat ini di pulau Moyo masih terjadi pembukaan lahan ilegal dan berpindah-pindah. Tak heran banyak orang di desa bisa memilik berhekatar-hektar tanah di hutan. “Harapan saya yang sudah terlanjur oleh negara dibuatkan aturan kemitraan konservasi dengan aturan main yang ditentukan. Sehingga masyarakat tetap diberi ijin pengelolaan tetapi hak atas tanah ada pada negara,” imbuhnya.
Selain itu melalui projek konservasi masyarakat didampingi untuk memulihkan ekosistem dengan cara dilakukan kombinasi tanaman antara ekonomi produktif dengan tanaman hutan. “Tidak masalah kalau saat ini masyarakat lebih suka menanam wijen serta jagung yang penting dikombinasi dengan tanamn keras, misal kemiri dan durian yang memiliki nilai ekonomis dan masyarakat sebagai penjaga,” kata Arya yang soal ini masyarakat sudah sepakat.
Penulis | : | Grid. |
Editor | : | Nira Emily |