Antonio Gasparini seorang peneliti dari London School of Hygiene & Tropical Medicine memprediksi bakal ada peningkatan frekuensi kematian manusia akibat perubahan iklim secara ekstrem.
"Kondisinya sangat mengkhawatirkan. Penelitian menunjukkan bahwa mungkin akan ada peningkatan frekuensi kematian akibat perubahan iklim. Namun, bukti pada skala global masih terbatas," kata Antonio seperti dikutip dari National Geographic Indonesia, Jumat (3/8).
Ia mendapat penggambaran itu setelah melakukan pengukuran suhu secara periodik dari tahun 1984 sampai 2015 lalu yang melibatkan 412 komunitas lingkungan di seluruh dunia.
Gasparini lantas menggunakan data itu untuk memprediksi tingkat kematian dari tahun 1977 hingga akhir abad ini.
BACA : Kondisi Terbaru Gili Lawa, Padang Rumput di NTT yang Diduga Terbakar Akibat Ulah Pengunjung
Hasilnya? mengerikan, apalagi jika gelombang panas terjadi di wilayah beriklim tropis dan sub-tropis.
"Secara dramatis dapat meningkatkan angka kematian, terutama di negara-negara tropis dan subtropis yang padat penduduk," papar Gasparrini.
Gasparini bahkan berani berujar dan memberikan contoh jika gelombang panas tetap terjadi maka di Kolombia akan ada 30 orang tewas akibat gelombang panas setiap harinya.
Sedangkan bagi Brasil dan Filipina akan ada 10-20 orang meninggal per harinya.
Sementara untuk kota-kota besar di AS dan Australia, angka kematiannya mungkin empat kali lipat lebih banyak.
"Kabar baiknya, jika kita bisa mengurangi emisi gas rumah kaca sesuai dengan Perjanjian Paris, maka jumlah kematian mungkin menurun," tutur Gasparrini.(*)
Source | : | National Geographic Indonesia,PLOS Medicine |
Penulis | : | Seto Ajinugroho |
Editor | : | Seto Ajinugroho |