Baca Juga : Kisah Volunteer Asian Games 2018, dari Tak Dibayar Hingga Dibentak
Meskipun demikian, dilihat dari situasi yang melatarbelakangi Ronggowarsito, di kala ia menyelesaikan buku Kalatida, lebih banyak kecenderungan menduga, jaman edan yang ia maksudkan, justru berlangsung dimasa ia menuliskan karangannya tersebut.
Suasana Kraton Surakarta yang semakin menyuram, lingkungan Istana yang main intrik, menambah beban di hatinya. Perasaannya yang halus terluka, mengapa segala kebobrokan justru berkuasa. Mengapa keadilan justru harus dikalahkan oleh segala keangkaraian. Apalagi keadaan tersebut, secara langsung harus diderita Ronggowarsito.
Sri Susuhunan Paku Buwono ke IX, yang memangku jabatan sejak tahun 1862, mungkin Raja baik.
Tetapi bagaimanapun besar penghargaannya terhadap Pujangga Kraton Surakarta, yang sudah diangkat sejak Sunan terdahulu pada tahun 1845, Sunan tetap mempunyai dugaan keras, keluarga Ronggowarsito, termasuk salah satu keluarga di lingkungan Kraton yang diindikasikan sebagai menyetujui pengasingan Susuhunan Paku Buwono ke IV ke pulau Ambon.
Baca Juga : Kisah Balita 22 Bulan yang Hilang Dalam Hutan Selama 4 Hari, Begini Kondisinya Saat Ditemukan
Ini mengakibatkan Raja tetap mengambil jarak tertentu dengan Ronggowarsito. Begitulah yang terjadi, akibat "jaman edan" yang berkuasa dalam lingkungan Kraton Solo, meskipun sang Pujangga sejak tahun 1845 sudah menggantikan kedudukan kakeknya.
Tetapi pangkatnya dalam jenjang kepegawaian tetap hanya seorang Penewu Carik Kliwon. Dan pangkat tersebut tetap tidak berubah, sampai akhirnya Ronggowarsito meninggal dunia tanggal 24 Desember 1873. Sesuai dengan yang telah ia tulis sendiri dalam kitab Sabdajati, dihari Rebo Pon.
Meninggal dalam kekecewaan luar biasa, Ronggowarsito akhirnya menemukan peristirahatan terakhir di desa Palar, kecamatan Trucuk, kabupaten Klaten, 40 Km barat daya Kraton Solo. Sebuah dusun yang sepi, di tengah-tengah rakyat biasa yang mungkin tetap masih menduga-duga, kapan jaman edan berakhir.
Jauh dari kota, diluar kesibukan dan kemesuman lingkungan Kraton. Lingkungan yang telah diabdinya sampai akhir hayat, tetapi ternyata tidak menghargai secara layak. Di lingkungan kuburan desa sederhana, daerah tempat asal usul ibu kandungnya.
Baca Juga : Kisah Tragis Abdul Manan yang Harus Kehilangan Setengah Tempurung Kepalanya
Ronggowarsito mungkin merasa lebih puas daripada ia terpaksa hidup dari berkarya dalam lingkungan intrik serta fitnah disebalik tembok Kraton yang megah.
Pujangga yang telah menyelesaikan lebih dari 30 buku, menulis tentang berbagai bidan dan masalah. Mengabdi dalam masa pemerintahan enam orang Raja, sejak diangkat selaku pegawai paling rendah dibidang kesenian oleh Sri Susuhunan Paku Buwono ke IV sampai IX, meninggal dunia dalam masa kekuasaan Sunan Paku Buwono ke IX.
Nama baik dan kedudukannya baru dipulihkan setahun setelah ia terkubur di perut bumi. Dengan ucapan terima kasih terhadap segala sumbangannya, Sri Susuhunan Paku Buwono ke XII pada tanggal 17 April 1952 menganugerahkan pangkat Bupati Anom di samping tambahan gelar sebagai Kanjeng Raden Tumenggung.
Sayang sekali, segalanya mungkin telah terlambat. Ronggowarsito sudah tidak sempat menikmati.(*)
Artikel ini telah tayang di Intisari Online dengan judul Ronggowarsito, Pujangga Kraton Surakarta yang Ramalkan Datangnya 'Zaman Edan', Kapan Itu Terjadi?
Source | : | intisari |
Penulis | : | None |
Editor | : | Ngesti Sekar Dewi |