Grid.ID - Desa Langaleso, Kecamatan Dolo, Kabupaten Sigi, terletak sekitar 20 km dari jantung kota Palu.
Meski berada di pelosok, namun warga desa yang beberapa waktu lalu sebagian kawasannya luluh lantak terkena gempa bumi dan likuifaksi ini punya kesadaran tentang hak perempuan dan kesetaraan gender.
Tak kalah dari warga di perkotaan. Semua itu tak bisa dilepaskan dari peran dua srikandi, Nurlian dan Titik Tri Wahyuningsih.
Penampilan keduanya biasa saja, tak ubahnya ibu-ibu pedesaan pada umumnya. Busana maupun dandanannya pun sangat sederhana, bahkan terkesan apa adanya.
Tetapi begitu berbicara tentang isu-isu perempuan dan kesetaraan gender, aura keduanya langsung memancar sangat kuat.
Baca Juga : Johan Majabubun, Srikandi yang Jadi Satu-satunya Penyelam Wanita dalam Evakuasi Korban Lion Air JT 610
Tak pernah lelah di wajah mereka menjelaskan isu-isu tersebut di hadapan warga.
Nurlian (42) dan Titik Tri Wahyuningsih, SH (36) tak pernah menduga, ternyata sama-sama punya pengalaman pahit menjadi korban kekerasan di masa lalu.
Pengalaman itu mereka jadikan pemantik untuk terjun menjadi pembela hak-hak perempuan dan anak.
”Kami tidak pernah janjian, tapi ternyata saya dan Mbak Nurlian memiliki kesamaan latar belakang. Sama-sama pernah jadi korban kekerasan. Dari pengalaman itu pula kami berdua kemudian getol menyuarakan keadilan bagi perempuan dan anak,” kata Titik, koordinator Divisi Pelayanan Hukum LBH-APIK Sulteng, saat ditemui di posko paralegal Desa Langaleso, Kec. Dolo, Kab. Sigi.
Nurlian, ibu tiga anak, menjelaskan bahwa Desa Langaleso dimana ia tinggal merupakan desa kantong buruh migran.
Para perempuan di desa itu sebagian besar mengais rejeki di berbagai negara sebagai tenaga kerja wanita (TKW), mulai dari Timur Tengah, Malaysia, sampai Hongkong.
Seperti perempuan sedesanya yang lain, Nurlian yang tamatan SMA itu juga mencoba mencari untung ke tanah seberang. Tahun 2005 ia berangkat mengadu nasib sebagai TKW ke Arab Saudi.
Baca Juga : Menegangkan! Detik-detik Penyelamatan 2 Wisatawan yang Tergulung Ombak Pantai Parangtritis Yogyakarta
Ia berharap penghasilan sebagai TKW di Timur Tengah bisa mengangkat derajat ekonomi keluarga di kampung halaman.
Tapi, mimpi Nurlian untuk memperbaiki nasib di negeri orang itu hanya mimpi belaka. Jangankan mendapatkan penghasilan cukup, dirinya justru jadi korban kekerasan yang dilakukan sang majikan.
“Batin saya terguncang begitu mendapat perlakuan tidak manusiawi. Karena tidak tahan mendapat perlakuan majikan, saya hanya bertahan setahun. Tahun 2006 saya kembali ke rumah,” kisah Nurlian mengenang masa lalunya yang pahit.
Meski sudah beberapa tahun kembali tinggal desa, namun bayang-bayang suram semasa menjadi TKW masih sangat membekas di benak dan hati Nurlian. Ia merasa hak-haknya sebagai perempuan dilanggar.
Tahun 2013, Nurlian mulai mengenal LBH-APIK melalui para relawan yang datang ke desanya untuk memberikan edukasi tentang hak-hak perempuan dan anak.
Sebagai orang yang punya rasa ingin tahu yang tinggi, ia mencoba menggali, apa sebenarnya yang disampaikan para relawan tersebut.
"Ternyata materinya sangat menarik. Dari sana saya tahu apa saja hak-hak dasar perempuan. Dan seketika itu juga saya melibatkan diri, sekaligus ditunjuk sebagai ketua posko paralegal di desa ini,” kata Nurlian yang terlihat menguasai isu tentang pendampingan hukum bagi perempuan dan anak karena seringnya bergulat dengan dunia hukum.
Baca Juga : Potret Sosok 3 Saudara Perempuan Najwa Shihab yang Jarang Terekspos, Nggak Kalah Cantik!
Menurut Nurlian, tugasnya sebagai paralegal adalah memberi edukasi pada perempuan desa tentang apa saja hak-haknya, sekaligus mendampingi apabila diantara para perempuan atau anak di desanya menghadapi persoalan hukum.
Sejak LBH-APIK masuk ke desanya, berbagai lembaga untuk lebih memberdayakan perempuan desa didirikan, misalnya Lembaga Forum Warga dan Sekolah Pelopor Keadilan.
Bahkan, pemerintah desa harus melibatkan warga perempuan saat mengambil sebuah keputusan.
Pengetahuan tentang hak dan kewajiban para perempuan warga desa pun makin meningkat.
“Dampaknya sangat positif, ketika perempuan diperlakukan semena-mena oleh pasangannya, mereka bisa membela diri karena sudah tahu hak dan kewajibannya,” papar Nurlian yang saat ini bersuamikan seorang guru olahraga Sekolah Dasar tersebut.
Demikian pula kesadaran laki-laki warga desa tentang hak dan kewajiban perempuan makin meningkat sejak sering diadakannya edukasi hukum.
Mereka pun tidak mau bertindak gegabah atau semena-mena. “Mereka tidak berani sembarangan melakukan sesuatu,” papar Nurlian.
Sejak pertama kali menjadi paralegal tahun 2013 hingga saat ini, Nurlian sudah mendampingi 22 perempuan dan anak meghadapi kasus hukum.
Jenis masalahnya bermacam-macam, mulai KDRT suami ke istri, pendampingan anak yang berurusan dengan hukum, dan beberapa bulan lalu berkaitan dengan video porno.
“Mereka selalu kami dampingi selama proses hukum agar mendapat perlakukan yang adil,” tutur Nurlian.
Baca Juga : 23 Tahun Menikah, Inul Daratista Akui sebagai Perempuan Setia
Bagi Nurlian, pekerjaan sebagai paralegal memang tidak mendatangkan keuntungan materi kecuali kepuasan batin belaka.
“Yang penting apa yang saya lakukan bisa bermanfaat buat sesama. Apalagi jika masalahnya bisa clear dan warga bisa kembali tersenyum, itu merupakan kepuasan yang tak tergantikan,” ujarnya penuh bangga.
Keluar Dari Pekerjaan
Tak jauh berbeda dengan Nurlian, pengalaman masa lalu Titik pun tak kalah menyedihkan. Perempuan yang leluhurnya berasal dari Banyuwangi, Jawa Timur, ini mengaku memilih menikahi lelaki pilihannya setamat kuliah dari Fakultas Hukum.
Namun, indahnya rumah tangga ternyata tak semanis yang dibayangkan sebelumnya. Suami yang semula diharapkan bisa mengayomi dan memberi rasa aman dan nyaman ternyata justru berbuat sebaliknya.
Lelaki pendampingnya seolah tidak lagi menghargai lembaga perkawinan.
Setiap mengambil keputusan keluarga dirinya sama sekali tak pernah dilibatkan. Yang lebih parah lagi, selama perkawinan paling tidak sudah lima kali ketahuan berselingkuh dengan perempuan lain.
“Sakit sekali. Padahal, saya sudah bela-belain keluar dari pekerjaan dan total mengabdi menjadi ibu rumah tangga, tapi ternyata malah akhirnya seperti itu,” lanjut perempuan bertubuh semampai tersebut.
Karena harapannya untuk hidup bahagia tidak kesampaian, Titik akhirnya memutuskan bercerai. “Melihat perilakunya, rasanya saya tak mungkin mempertahankan pernikahan,” imbuhnya.
Setelah berpisah dari sang suami, Titik mencoba bergabung dengan LBH-APIK. Apalagi dia memiliki latar belakang sarjana hukum. Tujuannya sederhana saja, ia ingin mengamalkan ilmunya untuk membantu kaum perempuan mendapatkan keadilan.
“Karena, pada posisi tertentu, seorang perempuan itu menjadi sangat lemah,” kata Titik yang bersyukur akhirnya menemukan pasangan baru yang sangat baik.
Ekonomi Jadi Sumber Kekerasan
Karier Titik di LBH-APIK pun makin berkembang. Tak hanya memberi pendampingan, ia juga beracara di pengadilan karena sudah mengantongi sertifikat sebagai lawyer.
Tak heran setiap kali ada masalah yang sampai ke meja hijau, contohnya perempuan atau anak dijadikan tersangka, ia sendirilah yang maju mendampingi.
Demikian pula aktivitasnya di desa. Bersama Nurlian ia berkolaborasi memberikan edukasi kepada perempuan desa tentang 40 hak dasar perempuan. Edukasi juga diberikan kepada para laki-laki supaya tidak bertindak sembarangan terhadap perempuan.
Pasca gempa besar yang melanda wilayah Sulawesi Tengah, lanjut Titik, pihaknya berusaha mendorong pemerintah desa agar menyisihkan sebagian dana desa untuk pengembangan ekonomi masyarakat.
“Tujuannya agar ekonomi warga kembali hidup. Apalagi ibu-ibu warga desa di sini sudah memiliki keterampilan seperti membuat makanan kecil atau kerajinan yang memiliki nilai ekonomis. Saya berharap gempa ini tidak membuat warga desa mencari jalan singkat dengan kembali menjadi TKW,” imbuh Titik.
Kondisi ekonomi desa harus segera dipulihkan sebab dampaknya sangat luas. Faktor ekonomi bisa menjadi salah satu penyebab terjadinya kekerasan fisik keluarga.
“Kalau emosionalnya tidak stabil, kondisi ekonomi yang mendadak ambruk bisa memicu kekerasan,” papar Titik.
Karena itu, ia mengapresiasi Jejaring Mitra Kemanusiaan-OXFAM (JMK-OXFAM) yang membuat program padat karya bagi masyarakat di daerahnya.
Dan ternyata, program tersebut memberikan dampak yang positif. Insentif sebesar Rp 80 ribu/hari selama 15 hari sangat berarti bagi masyarakat yang baru saja terkena musibah.
Apalagi manfaat dari pekerjaannya itu juga dinikmati oleh masyarakat sendiri.
Selain itu, kegiatan padat karya yang dilakukan warga bisa menjadi sarana untuk menghilangkan trauma bagi masyarakat yang sempat syok akibat gempa bumi dan likuifaksi yang begitu dahsyat.
Titik mengaku termasuk salah seorang yang mengalami trauma saat gempa likuifaksi datang. Bagaimana tidak trauma, begitu terjadi gempa, selain posisi rumah yang bergeser, tiba-tiba saja jutaan kubik lumpur keluar dari dalam tanah, bergulung-gulung menuju ke arah rumahnya.
Baca Juga : Heboh Penampakan Awan Berbentuk Gelombang Tsunami di Langit Makssar, Berikut Penjelasan BMKG
“Tapi Allah Maha Besar, setelah melumat rumah tetangga di Dusun Tiga, tiba-tiba lumpur itu berhenti persis di seberang rumah saya,” cerita Titik.
Saat memperingati Hari Anti Kekerasan paskagempa, pihaknya juga mengadakan upacara besar-besaran di lapangan desa yang dihadiri sekitar 1000 peserta lebih dari berbagai tempat serta instansi. “Sebagai seorang aktivis, kami memimpikan laki-laki dan perempuan bergerak maju bersama demi kemajuan, tanpa kekerasan,” pintanya.
Gandhi Wasono M.
Gagal Move On dan Tak Terima sang Mantan Pacar Sudah Punya Kekasih Baru, Pria Ini Culik sang Wanita tapi Keciduk Polisi, Begini Akhirnya