Meski begitu, ia merasa kartun memiliki pengaruh besar.
Pesannya kadang lebih sampai ke sasaran dan mampu memberi penyadaran yang kuat, tanpa harus berbuih-buih.
Pernah pada 1967, GM Sudarta memotret realitas sosial yang memprihatinkan.
Terjadi tren perampokan dan diduga dilakukan oleh oknum-oknum tentara.
Ia pun mencoba membuat sebuah kartun dengan tokoh Om Pasikom yang dimuat di harian Kompas.
"Tak lama, kami diserbu dua panser dan diteror serta ditekan habis-habisan. Mereka protes kartun saya," tuturnya.
Tak hanya itu, GM Sudarta merasa terjebak dalam kepahitan hidup.
Dia selalu berusaha meresapi dan menjiwai setiap realitas yang menyimpang.
Sehingga, seolah-olah hidupnya juga berada dalam kepahitan yang ia potret.
"Pernah pada tahun 1980 saya sakit parah dan harus diopname. Badan saya panas. Dokter bingung dan menurutnya saya sebenarnya tak sakit, karena hasil diagnosis semua baik," kisahnya.
"Saya pikir, ini penyakit aneh. Secara medis saya baik, tapi kok saya merasa tak enak dan sampai panas. Setelah berkonsultasi dan saya resapi sendiri, ternyata karena saya terlalu jauh dalam merasakan kepahitan hidup."
"Seolah, saya berada setiap kepahitan demi kepahitan yang terjadi dalam realitas," tambahnya.
Meski begitu, itu salah satu yang membuatnya tajam menangkap potret sosial politik dan budaya, sekaligus lincah dalam berkarya dan kritik.
"Ya, akhirnya saya sadari dan secara otomatis sakit itu hilang sendiri. Saya sekarang lebih tenang dalam meresapi kepahitan hidup," ucapnya.
Dalam pameran kali ini, ia kembali menghadirkan kepahitan hidup yang ia potret selama 50 tahun.
Sebab, hidup di Indonesia yang sudah merdeka 71 tahun ini, pahitnya masih terasa dan luka masih menganga. (*)
Ayah Baim Wong Meninggal Dunia, Sempat Beri Nasihat Putranya Sebelum Gugat Cerai Paula Verhoeven
Penulis | : | Hery Prasetyo |
Editor | : | Hery Prasetyo |