"Bangun tidur pun sering saat sudah siang hari," jujur saya beritahu dia.
Dia senyum.
"Abang nikah dengan kamu untuk dijadikan isteri, bukan cari orang buat digaji," katanya.
Seketika tersentak saya. Saya tertunduk diam, senyum.
Apa yang saya alami mungkin sedikit 'istimewa'.
Menikahi seorang duda yang bertato yang tidak arif soal agama, dan punya seorang anak perempuan hasil pernikahannya dengan mantan isterinya.
Dia pernah menikah dan pernah gagal.
Saya lihat sendiri bagaimana dia berusaha bersungguh-sungguh memperbaiki hubungan terdahulu, dan bagaimana dia menjadikan kesalahannya dulu sebagai pelajaran dalam hubungan kami.
Seperti hari-hari biasa, manusia memandang kami dengan pandangan yang kejam.
Saya tidak pernah marah pada tato dia, walaupun di awal perkenalan kami dahulu saya kurang senang dengan tatonya.
Astaghfirullah, itulah kelemahan saya dahulu.
Juga seperti masyarakat lain yang memandang dia dengan pandangan yang buruk.
Pandangan masyarakat juga pada kami seolah-olah kami tidak layak bersama.
Dia punya tato sedangkan saya berjilbab dan berniqab.
Ini masalah yang sudah biasa yang kami lalui sepanjang kehidupan kami sebagai suami isteri.
Bayangkan, kami pernah bertemu dengan sekumpulan wanita yang berjubah dan berniqab, mereka akan mencubit lengan sesama mereka.
Memandang kami sambil melirik dan berbisik-bisik, lalu pergi dengan langkah yang laju.
Begitu juga ketika kami bertemu dengan golongan pria-pria berhaji atau pria berjubah, bersongkok atau berkopiah.
Ada yang menggeleng-geleng kepala, ada yang sampai melotot.
Ada yang tak melepas pandangannya.
Mereka melototi saya yang berjubah berniqab ini, lalu melihati suami yang bertato.
Bayangkan juga, bagaimana andai institusi agama Islam sendiri memandang kami dengan pandangan yang 'pahit untuk ditelan'.
Innalillahi, Mayangsari Bawa Kabar Duka, Istri Bambang Trihatmodjo Nyesek Lepas Kepergian Wanita Kesayangannya Ini: Mati Itu Pasti
Penulis | : | Aji Bramastra |
Editor | : | Aji Bramastra |