Dari sekolah itulah Kartini memiliki kemampuan membaca dan menulis dalam bahasa Belanda.
Karena sifatnya yang haus akan pengetahuan, Kartini yang terpingit dirumah pun tetap aktif belajar dengan menulis ratusan surat kepada teman-temannya yang berada di Belanda.
Tidak hanya saling bertukar pikiran lewat surat, Kartini juga rajin membaca buku-buku kebudayaan Eropa seperti buku karya Louis Coperus yang berjudul Des Stille Kraacht.
Baca Juga : Gempita Banjir Pujian Setelah Nyanyikan Lagu Ibu Kita Kartini, Tergemas!
Semakin banyak ia membaca buku-buku tersebut, Kartini semakin tertarik dengan pola pikir perempuan Eropa dan ingin berusaha memajukan kedudukan perempuan pribumi.
Akhirnya, berbekal pengetahuan yang ia miliki, Kartini mulai memberikan perhatian khusus kepada emansipasi wanita pribumi yang kala itu memiliki status sosial yang cukup rendah ditengah-tengah kekuasaan pria.
Selain itu ia juga menaruh perhatian pada masalah sosial yang terjadi menurutnya, seorang wanita perlu memperoleh persamaan, kebebasan, otonomi serta kesetaraan hukum.
Baca Juga : Hari Kartini, Pevita Pearce Tampil Ayu Memesona Kenakan Balutan Kebaya
Dilansir Grid.ID dari Tribun Jateng, pada tahun 1903, RA Kartini dinikahkan dengan seorang Bupati Rembang yang telah memiliki 3 orang istri, KRM Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat.
Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat yang memahami pola pikir istrinya akhirnya mengizinkan Kartini untuk mendirikan sekolah wanita.
Sekolah wanita ini didirikan dengan tujuan tak hanya memberikan pendidikan bagi para wanita pribumi, tetapi juga memperjuangkan hak mereka di tengah-tengah budaya feodal tanah Jawa masa itu.
Baca Juga : Hari Kartini, Menurut Rianti Cartwright Ibunya Merupakan Kartini Masa Kini
Source | : | Kompas.com,Tribun Jateng |
Penulis | : | Tata Lugas Nastiti |
Editor | : | Tata Lugas Nastiti |