Beberapa hari setelah pendaratan, tiga orang anggota pasukan tertawan pihak marinir Belanda. Di antaranya seorang mantri kesehatan, seorang sarjana sosial politik yang disiarkan oleh Radio Australia sebagai doktor kerakyatan.
Akibatnya, keluarga saya dan teman-teman di Jakarta menyangka saya ikut tertawan. Untunglah, diplomasi di PBB berhasil dan gencatan senjata dapat dilaksanakan segera.
Bayi ditukar babi
Selama masa Trikora kesibukan yang luar biasa nampak di Indonesia bagian Timur. Mulai dari Ujungpandang, Bitung, Morotai sampai Ambon.
Pasukan dan kapal perang dikerahkan ke sana. Ada sebuah kapal yang dipersiapkan sebagai rumah sakit berjalan dan juga membawa peti mati di geladaknya.
Selama di Irian Jaya, saya bertugas di Kota Baru (sekarang Jayapura), P. Biak, dan terakhir di Sorong.
Selain di rumah sakit tentara, saya juga bertugas di rumah sakit umum dan mengajar di SMA Negeri, yang saat itu baru sampai kelas satu.
Baca Juga : Coba Kepalkan Tanganmu, Hasilnya Aka Ungkap Kepribadian Hingga Perjalanan Cintamu
Sebagai dokter muda di Rumah Sakit Sorong, saya mendapat bantuan yang sangat berharga dari mantri kepala dan juga putra daerah, dalam menangani kasus-kasus gawat darurat akibat perkelahian manusia dengan manusia, manusia dengan binatang buas atau ikan.
Kalau tidak cepat diselesaikan perkaranya, entah apa jadinya saya ini.
Ceritanya begini. Suatu hari saya kedatangan seorang wanita yang mengalami kesulitan bersalin karena bayinya melintang.
Dia datang dari suatu pulau yang memakan waktu dua hari perjalanan dengan perahu. Akhirnya, bayi dapat dilahirkan dengan jalan operasi tapi sudah meninggal. Sedangkan ibunya selamat.
Tapi persoalan belum beres sampai di situ. Timbul salah paham antara keluarga pasien dengan pihak rumah sakit.
Dalam hal ini saya sebagai dokter yang menangani persalinan itu, dianggap sebagai penyebab kematian bayi tadi.
Tuntutan mereka itu yang bikin saya keder: nyawa harus dibayar dengan nyawa.
Untung saja persoalan ini bisa diselesaikan secara damai oleh mantri kepala dan seorang pendeta, setelah pihak rumah sakit memberikan seekor babi kepada si pasien.
Baca Juga : Bibi Unggah Vidio Vanessa Hibur Penghuni Rutan, Penampilannya Curi Perhatian
Lampu biru nyaris bikin buta
Ini pengalaman unik lain lagi, ketika kami baru saja mengambil alih rumah sakit tentara dari pihak Belanda.
Seorang anggota pasukan mengambil lampu berwama biru sebagai lampu tidur. Esok harinya anggota tersebut bersama teman sekamarnya datang ke rumah sakit dengan kedua matanya sembab.
Ternyata kedua orang ini tidur dengan lampu ultraviolet, untung tidak sampai buta.
Sebelum mengakhiri tugas di Irian Jaya, saya bersama pengganti saya, Kapten dr. Aryoko, mengumpulkan dan mengidentifikasi jenazah para pahlawan Trikora yang dimakamkan oleh penduduk setempat di berbagai lokasi yang terpencar di mana-mana.
Ada kalanya dengan mudah kami mengenali "jenazah" mereka, karena penduduk menyimpan benda-benda yang terdapat di pakaian mereka.
Ada pula yang dikebumikan berikut baju loreng, sepatu dan kopel rim yang biasanya bertuliskan nama dan golongan darah yang bersangkutan.
Umumnya kopel rim dan sepatu masih utuh, walaupun jenazah sudah tinggal tulang belulang saja.
"Jenazah-jenazah" ini dimakamkan kembali di Taman Makam Pahlawan Sorong yang diresmikan pada 10 November 1963.
Saya dipulangkan ke Jakarta bulan Januari 1964. Beberapa saat kemudian saya mendapat berita duka, Kapten dr. Aryoko gugur di medan tugas.
Untuk mengenang jasa-jasanya rumah sakit tentara di Jayapura sekarang diberi nama RST Dokter Aryoko. (*)
Artikel ini telah tayang di Intisari online dengan judul, “Kisah Dokter Militer yang Ditugaskan dalam Misi Trikora untuk Membebaskan Irian Barat: Pernah Harus 'Menukar' Bayi dengan Babi “
Source | : | intisari online |
Penulis | : | None |
Editor | : | Ngesti Sekar Dewi |