Grid.ID - Kecelakaan bus pariwisata (Premium Class) dengan Nopol F 7959 AA masih menyisakan trauma bagi korban yang selamat.
Kecelakaan yang terjadi di jalan Raya Bandung - Subang, Kampung Cicenang, Ciater Subang, atau Tanjakan Emen Jawa Barat, Sabtu (10/2/2018) sekira pukul 17.00 wib.
Akibat kecelakaan itu, bus yang membawa 52 orang tersebut menewaskan 27 orang, 22 luka berat, dan 7 orang mengalami luka ringan.
Menurut salah satu korban yang selamat, Karmila (44), kondisi saat bus terguling sangat mencekam
Setelah bus berhenti, ia tersadar bahwa ia harus melangkah menuju kaca depan bus yang sudah pecah.
Kala itu, kondisi di dalam bus gelap dan penuh debu.
(7 Selebriti Wanita yang Pernah Alami Kecelakaan Lalu Lintas, 2 Meninggal Dunia)
Ia menginjakan kakinya sedikit demi sedikit di atas tepian kursi penumpang bus yang sudah terbalik 90 derajat.
Dalam perjalanannya menuju pintu keluar, Mila sempat mendengar suara rintihan kawan-kawannya yang berada di bawah kursi tersebut.
Sambil coba menenangkan diri, Mila berusaha agar kakinya tidak menginjak tubuh tetangganya yang tengah kesakitan itu.
"Tolong, ya Allah. Tolongin, saya," rintih Mila menirukan suara teman-temannya yang menjadi korban laka maut bus pariwisata yang tengah menuju Ciater, Jawa Barat sore itu.
Ibu empat anak itu masih ingat ada pecahan kaca di bawah kakinya setelah berhasil keluar dari bus maut.
Tapi ia tidak ingat mengapa kakinya tidak terluka sedikit pun walaupun menginjak pecahan kaca bus itu.
Ia juga masih ingat betapa pegal lengan dan pergelangan tangannya usai mencengkram besi tirai sebelum bus yang ditumpanginya terguling di tanjakan Emen, Subang, Jawa Barat.
"Saya sudah tahu bus oleng ke kanan dan ke kiri. Waktu itu saya berdiri dan bisa melihat dengan jelas ada sepeda motor yang menyalip. Saya cuma bisa fokus dan mencari pegangan," ungkap Mola mengingat apa yang menimpa dirinya.
Kali pertama membuat kaca di bus itu pecah, dan kali kedua membuat sebagian penumpang di bagian kursi penumpang sebelah kiri terlempar keluar.
Ia takut bus itu akan meledak.
Hanya maut dan keluarganya yang ada dalam pikirannya, namun Mila melawannya.
Ia bertekad harus hidup.
"Mati. Mati. Tapi saya ingat keluarga, anak-anak, saya harus tetap hidup. Pokoknya, gimana caranya saya bisa hidup. Saya cuma takut kalau meledak," ungkap Mila.
Setelah berhasil mempertahankan hidupnya dan keluar dari bus, Mila kemudian mencari pertolongan.
(Kronologi Kasus Anak Denada Dibully, Mulai Dari Komentar Kasar Hingga Bantuan Pengacara)
Ia sempat kesal dan menangis karena warga yang ada tak mau meminjamkan ponsel kepadanya.
Dengan alasan tidak ada pulsa, mereka hanya merekam kejadian itu dengan ponselnya.
Ia bahkan sempat mengingat ponsel dalam tasnya yang masih berada di dalam bus ketika itu.
"Kesel banget. Mau minjem hp buat nelpon dia (menunjuk suami yang ada di sampingnya-red), mereka cuma nge-shoot nge-shoot aja. Bilang nggak ada pulsa," ungkap Mila.
Setelah beberapa saat, lalu lintas di tanjakan Emen itu menjadi macet.
(Anaknya Ditetapkan Tersangka, Ibu Sopir Bus Punya Firasat Sebelum Kecelakaan Tanjakan Emen)
Namun tidak ada seorang pun yang berani menolongnya. Petugas kepolisian lalu datang dan membawa Mila ke poliklinik di dekat lokasi kejadian.
Sementara korban lainnya dibawa ke RSUD Subang. Karena tidak ada luka serius di tubuhnya, proses pengobatannya tidak berlangsung lama.
Namun ia merasa sangat kelelahan karena petugas kepolisian yang membawanya terus menerus menanyainya.
"Capek banget rasanya, karena saya jadi salah satu saksi yang ditanya terus-terusan sama polisi," kata Mila.
(7 Fakta Kehidupan Tersangka Tragedi Tanjakan Emen Subang, Nomor 3 Bikin Haru)
Di hari ketiga setelah kejadian, seluruh tubuh Mila baru terasa sakit.
Seluruh badannya baru saja selesai diurut.
Kakinya yang sempat bengkak di hari pertama kini sudah lebih baik.
Namun ia mengaku masih ingin diurut lagi. (*)
(Berita ini juga tayang di TribunnewsBogor dengan judul 'Tolong, ya Allah. Tolongin, saya', Teriakan Terakhir Korban Kecelakaan Maut Usai Bus Tabrak Tebing)
Penulis | : | Alfa Pratama |
Editor | : | Alfa Pratama |