Berdiri pada 1934, TOA masuk ke Indonesia pada 1960-an.
Lalu menjadi alat pengeras suara paling sohor di desa dan kota.
G.F. Pijper, seorang Belanda pengkaji Islam di Indonesia, sebenarnya telah menyaksikan kehadiran pengeras suara di masjid Indonesia jauh sebelum 1960-an.
“Pengeras suara dikenal luas untuk menyuarakan azan di Indonesia sejak tahun 1930-an.” tulis Pijper dalam Studien over de geschiedenis van de Islam.
Dalam tulisannya, Pijper menceritakan bahwa Masjid Agung Surakarta adalah masjid peratama yang menggunakan pengeras suara.
Sementara itu pada buku Masa Lalu Dalam Masa Kini Arsitektur Indonesia, sejarawan Van Dijk menulis adanya ketidaksukaan orang-orang Belanda pada suara azan yang keluar dari pengeras suara saat itu.
Meski kenyataannya mereka lah yang memperkenalkan pengeras suara ke orang-orang yang bermukim di Hindia Belanda (sebutan Indonesia kala itu) bersamaan dengan masuknya jaringan listrik ke Hindia Belanda.
Nyaris Diamputasi, Seorang Wanita Sembuhkan Kakinya Gunakan Gula, Pakar Kesehatan Beri Jawaban
Memasuki zaman merdeka, ketika pengeras suara mulai digunakan secara massal di masjid-masjid, masyarakat mulai berdebat menyoal penggunaan pengeras suara.
Debat itu muncul pada 1970-an. “Bagaimana kalau ada orang yang sakit di sekitar masjid dan meninggal karena suara azan yang terlalu keras, misalnya,” protes seorang warga Jakarta, termuat di Ekspres, 22 Agustus 1970.
Sementara itu, ada pula warga lain yang mengaku tidak keberatan dengan azan melalui pengeras suara.
Penulis | : | Aditya Prasanda |
Editor | : | Aditya Prasanda |