Grid.ID - Namanya Hyeongseo Lee.
Ia melarikan diri dari Korea Utara yang merupakan rumah bagi salah satu pemimpin paling represif di dunia saat usianya baru 17 tahun.
Setelah itu, Hyeongseo Lee harus mempertaruhkan nyawanya untuk mengeluarkan keluarganya dari negara yang tertutup itu.
Dilansir dari laman Glamour, Lee dibesarkan oleh orangtuanya dengan saudara laki-lakinya di Hyesan, Korea Utara, dekat perbatasan Tiongkok.
Ayahnya merupakan seorang perwira militer dan ibunya adalah seorang ibu rumah tangga.
Lee tumbuh sebagai anak yang memiliki rasa keingintahuan sangat tinggi.
Ayahnya meninggal saat ia masih remaja.
Pada malam hari, setelah jaringan listrik ditutup, Lee akan duduk dalam kegelapan dan menatap ke arah Tiongkok yang terang.
Pada suatu musim dingin ketika usianya 17 tahun, Lee pergi ke Sungai Yalu (sungai yang membagi wilayah Korea Utara dan Tiongkok).
Di sana, ia membujuk seorang penjaga yang tak lain adalah kenalan keluarganya agar membiarkannya berjalan melintasi air yang membeku.
"Aku bilang padanya jika aku akan pulang dalam beberapa hari", katanya.
Lee berniat untuk pergi mengunjungi kerabat jauhnya di Tiongkok.
Tak lama setelah itu Lee menyadari jika begitu dia keluar dari negara tertutup itu, ia tidak akan pernah bisa kembali lagi.
Jika dia melakukannya, itu berarti Lee dan keluarganya tengah mempertaruhkan hukuman penjara, bahkan eksekusi mati.
BACA JUGA Kim Jong Un Berdamai dengan Korea Selatan, Benarkah Situs Uji Coba Nuklir Korea Utara Telah Hancur?
Di sisi lain, jika pihak berwenang Tiongkok menemukan identitasnya, mereka akan mengirimnya kembali ke Korea Utara untuk menghadapi hukuman.
Akhirnya Lee pun segera menelpon ibunya untuk memberitahu keberadaannya saat ini.
Sejak itu, Lee tidak lagi berbicara dengan keluarganya selama lima tahun.
Dengan segala keberanian yang ia miliki, Lee terus berusaha untuk melarikan diri dan menyelamatkan keluarganya.
Selama dua tahun pertama, Lee bersembunyi bersama kerabatnya dan mempelajari bahasa Mandarin.
Lee berubah menjadi warga Korea Utara yang sangat fasih berbahasa Mandarin.
Sehingga ketika dia ditahan oleh petugas deportasi, Lee dapat meyakinkan petugas jika ia memang orang Tiongkok.
BACA JUGA Cantik dan Misteriusnya Ri Sol Ju Istri Penguasa Korea Utara Kim Jong Un
Selama di Tiongkok, Lee bekerja menjadi seorang pelayan dan menabung.
Setelah tabungannya cukup, Lee pergi ke Korea Selatan yang mengakui warga negara Korea Utara juga sebagai warga negaranya.
Di sana ia mendengar berita yang mengejutkan dari keluarganya.
Akibat pembelotannya, ibu dan saudara laki-lakinya harus masuk ke dalam daftar yang akan dipindahkan ke gunung-gunung yang dingin dan tak layak huni.
Mendengar kabar mengerikan itu, Lee tidak tinggal diam.
Ia kemudian menyusun suatu rencana pembebasan dengan kembali ke perbatasan di sisi Sungai Yalu agar bisa membantu ibu dan saudara laki-lakinya melarikan diri.
Pada suatu pagi, Lee menyusup ke tepi sungai dan menemukan keluarganya jongkok di perbatasan itu.
12 tahun lamanya tak bertemu, tapi tak sepatah kata pun keluar dari mulut mereka.
Lee kemudian mengajak ibu dan saudaranya menuju taksi yang membawanya ke perbatasan itu.
Baru setelah tiba di kamar hotel, tiga anggota keluarga yang terpisah itu saling memeluk erat dan tak bisa berhenti menangis.
Sekarang, ketiganya menetap di Seoul, Korea Selatan.
Cerita Lee kemudan diterbitkan menjadi sebuah buku dengan judul The Girl With Seven Names.
Sejak 2013, persentasinya di TED Talk telah ditonton lebih dari 4 juta kali.
Lee juga telah menceritakan pengalamannya ini di Forum Kebebasan Oslo dan Dewan Keamanan PBB.
Samantha Power yang saat itu merupakan Duta Besar AS untuk PBB mengatakan jika kisah Hyeongseo Lee ini berbeda dari kisah lainnya.
Karena kisah itu bisa membawa kita semua ke dunia paranoid berdarah dari Republik Rakyat Demokratik Korea.
Lee menyadari risiko besar yang mengancam di depannya.
Dia bahkan juga menerima sebuah pesan yang mengancam.
"Tentu saja aku takut, karena rezim telah membunuh pembelot. Tapi aku tidak bisa tinggal diam ketika melihat adanya pelanggaran HAM yang mengerikan", ungkap Lee.
Lalu, ia memutuskan untuk menggunakan suaranya untuk melawan pelanggaran HAM ini.
"Aku akan terus melakukannya, karena suatu hari kita pasti akan menyelesaikan masalah ini".
Dan benar saja, beberapa hari yang lalu tepatnya pada Jumat (27/04/2018) dua pemimpin besar Korea melakukan sebuah pertemuan penting yang akan merubah sejarah dunia.
Setelah bertahun-tahun yang dinantikan itu, akhirnya masa-masa perdamaian itu pun tiba.
Semoga, bukan hanya Korut-Korsel yang mengambil langkah perdamaian.
Tetapi juga diikuti oleh negara-negara lain di dunia yang saat ini masih bersitegang dalam peperangan.(*)
Ayah Natasha Wilona Mendadak Muncul Usai 20 Tahun Menghilang, Kondisi Rumah Sang Artis Semasa Kecil Sungguh Memprihatinkan
Source | : | glamour.com |
Penulis | : | Septiyanti Dwi Cahyani |
Editor | : | Septiyanti Dwi Cahyani |