Grid.ID – Setuju atau tidak jika kantor disebut sebagai rumah kedua? Kantor menjadi tempat para pekerja menghabiskan hampir seluruh waktunya dalam setiap hari. Jam kerja normal di setiap kantor adalah 8-9 jam.
Durasi kerja tersebut belum termasuk dengan waktu tambahan seperti lembur atau agenda tertentu yang membuat pekerja berada di kantor lebih lama.
Mengingat hampir separuh hari dihabiskan di kantor, faktor kenyamanan dan keamanan lingkungan kerja di kantor menjadi sangat penting.
Sibuknya pekerjaan akan terasa lebih menyenangkan jika lingkungan kerja kondusif. Rumus tersebut berlaku bagi semua karyawan, termasuk perempuan yang bekerja.
Baca Juga: Cara Kembangkan Usaha dengan Social Media Digital Marketing di Tengah Pandemi Covid-19
Dikutip dari laman Jobstreet, terdapat lima tren utama yang mempengaruhi kebahagiaan menurut survey TINYpulse, diantaranya yaitu budaya kerja, hubungan interpersonal, penghargaan karyawan, transparansi, hingga penilaian kinerja karyawan.
Selain itu, fasilitas pendukung juga tak kalah penting. Sebab masih ada perusahaan yang belum memberikan cukup fasilitas bagi karyawan, terutama karyawan perempuan. Contohnya seperti perusahaan tempat Rini (28) bekerja.
Rini mengaku sering merasa kebingungan untuk mencari lokasi yang pas ketika ingin memompa ASI. Terutama pada jam-jam tertentu seperti waktu makan siang, sebab ia tahu jika tak mungkin baginya memompa ASI di meja kerja.
Akhirnya, ia terpaksa pergi ke toilet atau tangga darurat yang jarang dilalui orang demi menghindari keramaian.
Baca Juga: Tips dan Trik Sukses Raup Jutaan Rupiah di Rumah Lewat Bisnis Fashion Online, Yuk Ikuti Kata Pakar!
Hal ini tentu menyedihkan dan sejatinya merupakan salah bentuk diskriminasi perempuan. Sebab, sebenarnya pekerja perempuan memiliki hak untuk diberikan fasilitas khusus, contohnya ruang laktasi yang memadai.
Panduan yang diluncurkan Better Work Indonesia sebagai lembaga milik International Labour Organization, mengungkapkan jika fasilitas ramah laktasi yang disediakan perusahaan dapat membantu menekan biaya yang berkaitan dengan perawatan kesehatan, menekan tingkat absensi, hingga produktivitas rendah bagi pekerja perempuan.
Disamping kurangnya fasilitas, pekerja perempuan juga kerap mengalami diskriminasi lain yang sering tidak disadari, apa saja?
1. Ujaran bermakna seksisme
Ketika bercanda atau berbincang dengan rekan kerja, pernahkah kamu mendengar kalimat seperti “ah, dasar perempuan” atau “marah-marah terus, lagi PMS, ya?” meski terdengar biasa, ujaran ini sebenarnya merupakan salah satu bentuk diskriminasi terhadap perempuan.
Salah satu bentuknya yakni perkataan dengan kalimat merendahkan, memberi label, atau mengintimidasi bentuk tubuh seseorang.
Sebuah survei yang dilakukan Never Okay Project pada 2018 menemukan bahwa perempuan Indonesia masih mengalami pelecehan di tempat kerja. Sebanyak 89,84 persen pelecehan dilakukan secara lisan, 89,98 persen pelecehan fisik, dan 70,65 persen pelecehan melalui isyarat.
Riset ini juga menemukan jika perempuan cenderung ragu untuk melaporkan akibat khawatir mempengaruhi karir atau merasa pihak manajemen tidak akan melakukan apapun.
2. Perbedaan kesempatan dan penghasilan
Pernahkah kamu mendapati lingkungan kerja yang didominasi oleh atasan laki-laki, atau banyaknya promosi yang hanya diberikan pada satu gender saja?
Baca Juga: Ikuti Perkembangan Industri Makanan, Mahasiswa di Kampus Ini Ciptakan Produk Pangan Baru
Hal ini juga merupakan bentuk diskriminasi, apalagi jika perusahaan memberikan gaji yang berbeda meski memiliki tanggung jawab yang sama.
Faktanya, hal ini masih berlaku di banyak tempat. Survei Workplace Gender Equality menyebut jika pada tahun 2018, hanya terdapat 13,5 perempuan yang menduduki posisi CEO di industri dengan proporsi gender setara.
Sedangkan dalam segi pendapatan, Badan Pusat Statistik menemukan adanya selisih upah antara pekerja laki-laki dan perempuan sebesar Rp 560.600 pada 2018, dan masih berlanjut pada 2019 dengan selisih Rp 618.800. Artinya, perbedaan kesempatan dan penghasilan merupakan hal yang masih terjadi di berbagai tempat kerja.
3. Aturan berpakaian
Ketika melamar kerja, terkadang masih ada lowongan spesifik yang melarang perempuan menggunakan atribut keagamaan atau diharuskan menggunakan seragam tertentu.
Tanpa disadari, aturan berpakaian ini diam-diam merupakan bentuk diskriminasi pada perempuan. Padahal dalam dokumen yang disepakati oleh para ahli HAM bernama prinsip-prinsip Camden menyebutkan dalam prinsip ke-3 bahwa setiap orang memiliki hak terbebas dari diskriminasi atas ras, gender, etnis, dan status-status lainnya.
Artinya, perempuan juga memiliki hak untuk berekspresi selama masih masih memenuhi etika kesopanan dan norma masyarakat.
Tindakan proaktif dari tempat kerja
Tindakan diskriminatif dan seksis dalam kehidupan sehari-hari, terutama di tempat kerja tentu dapat mempengaruhi kondisi emosional perempuan. Demi mengakhiri situasi ini, edukasi perlu dilakukan.
Diantaranya melalui tindakan proaktif dari perusahaan untuk memberikan fasilitas dan kesempatan yang sama tanpa memandang gender para pekerjanya.
Beruntungnya, mulai banyak perusahaan yang menyadari akan pentingnya penerapan anti diskriminasi, salah satunya yaitu perusahaan Fast Moving Consumer Goods (FMCG) Procter & Gamble (P&G) Indonesia.
Melalui program #WeSeeEqual, P&G tidak hanya memberikan fasilitas yang memadai, tetapi juga perlindungan diskriminasi serta kesempatan menaiki tangga karir yang adil.
Disampaikan oleh Pimpinan Keragaman dan Inklusi P&G, Angela Hertiningtyas, kebijakan ini diberlakukan agar semua pekerja memiliki hak yang sama dalam perlindungan dan fasilitas.
“Terutama untuk diskriminasi, kami memiliki hotline pengaduan bagi karyawan dengan sistem anonim, tujuannya agar mereka merasa nyaman untuk menceritakan kendala yang dihadapi,” kata Angela pada Rabu (24/07/2020) melalui conference call dengan Grid.ID.
Mengingat kesetaraan juga menyangkut kesempatan kerja yang sama, P&G turut menerapkan lowongan kerja dan kesempatan karir yang sama, dengan menggunakan kinerja kerja sebagai patokan.
“Seharusnya, selama karyawan melakukan tugasnya dengan baik, maka semua kesempatan seharusnya adil dan berlaku untuk semua,” lanjut Angela.
Tak berhenti di situ, P&G turut melakukan evaluasi kinerja dan kondisi perusahaan secara berkala untuk memastikan kenyamanan dan lingkungan kerja yang positif bagi semua orang.
“Kami selalu melakukan evaluasi melalui survei internal untuk memastikan lingkungan tetap kondusif dan positif bagi seluruh karyawan. Sejauh ini, kabar baiknya P&G Indonesia belum pernah memiliki kasus diskriminasi. Kami berharap ini situasi ini bisa terus terjaga bersama,” tutup Angela.*
5 Aroma Parfum yang Cocok Dipakai di dalam Ruangan, Segar dan Bikin Tubuhmu Rileks Sepanjang Hari
Penulis | : | Fathia Yasmine |
Editor | : | Sheila Respati |