Grid.ID- Bagi warga Jakarta dan sekitarnya pasti sudah tidak asing dengan Masjid Istiqlal.
Terletak di bekas Taman Wilhelmina, Jakarta, Masjid Istiqlal merupakan satu di antara 10 masjid dengan kapasitas terbesar di dunia.
Masjid Istiqlal disebutkan mampu menampung lebih dari 200 ribu jamaah.
Namun kemegahan masjid ini mungkin tidak akan hadir tanpa tangan dingin Friedrich Silaban.
Friedrich Silaban adalah pria kelahiran Bonandolok, Tapanuli Utara yang menjadi arsitek dari masjid yang resmi diresmikan 43 tahun silam ini.
Friedrich merupakan anak kelima dari tujuh bersaudara. Ayahnya, Jonas Silaban merupakan seorang petani.
Ia tak lahir di keluarga yang berkecukupan. Meski demikian, Friedrich kecil mengenyam pendidikan di Hollands Inlandsche School (HIS), Tapanuli Utara, sekolah berbahasa Belanda bagi pribumi terpandang.
Si cemerlang dari Tapanuli Utara
Tercatat dalam Biografi Friedrich Silaban Perancang arsitektur Masjid Istiqlal karya P Simamora dan kawan-kawan, Friedrich bertekad meneruskan pendidikan di sekolah teknik menengah kenamaan, Koningen Wilhelmina School (KWS), usai ia lulus dari HIS.
Berlokasi di Batavia, KWS merupakan sekolah elit yang dikhususkan untuk siswa berkebangsaan Belanda dan pribumi pilihan.
Untuk bersekolah di KWS, calon siswa harus menjalankan tes di Batavia.
Ayah Friedrich berkeberatan akan hal tersebut. Namun, Friedrich yang keras kepala berangkat seorang diri ke Batavia demi mewujudkan impian bersekolah di KWS.
Tanpa ujian, Kepala Sekolah KWS menerima Friedrich yang memiliki nilai ijazah bagus.
Biaya bersekolah Friedrich juga ditanggung oleh beasiswa yang ia peroleh.
Di KWS, Friedrich mengenyam pendidikan di jurusan ilmu bangunan atau yang disebut dengan Bouwkunde.
Friedrich dan arsitektur
Disampaikan dalam buku Rumah Silaban terbitan MAAN Indonesia Publishing, Ketertarikan Friedrich akan arsitektur kian terpupuk setelah ia mengunjungi Pasar Gambir, acara tahunan yang digelar di Koningsplein, Belanda sejak 1921 sampai 1946.
Friedrich yang kala itu masih menyandang status siswa di KWS mengunjungi Pasar Gambir pada tahun 1929. Di situ, rasa kagum Friedrich akan skema arsitektur Pasar Gambir tumbuh.
Usai lulus dari KWS pada tahun 1931, Friedrich mengunjungi kantor JH Antonisse, arsitek di balik Pasar Gambir.
Ia pun dijadikan pegawai di Departemen Umum, di bawah pemerintah kolonial oleh Antonisse, pada tahun 1947.
Berkat pekerjaan ini, Friedrich kerap melancong ke berbagai negara.
Kesempatan ini ia manfaatkan untuk memperlajari kebudayaan dan karya arsitektur di ragam tempat tersebut.
Beberapa kota yang dikunjunginya di antara lain adalah China, Brasil, Jepang, Italia, Perancis, Yunani, Singapura, Jerman, dan lain-lain.
Di kota-kota yang ia kunjungi, Friedrich kerap bertemu dengan profesor dan mahasiswa lokal.
Tak lupa, arsitek lokal pun ditemuinya untuk diajak berdiskusi perihal arsitektur.
Sang pemenang sayembara
Tercatat dalam Biografi Friedrich Silaban Perancang arsitektur Masjid Istiqlal karya P Simamora dan kawan-kawan, Pemerintahan Soekarno mengadakan sayembara perancangan masjid nasional pada 22 Februrari 1953.
Friedrich yang masih bekerja di Departemen Umum tak menyia-nyiakan kesempatan tersebut. Dengan desain berjudul 'Ketuhanan', Friedrich mengikuti sayembara tersebut.
Dewan juri yang diketuai Presiden Soekarno, memilih desain Friedrich sebagai pemenang pertama sayembara.
Di bawah Soekarno, Ir Roeseno, Ir Juanda, Ir Suwardi, Ir R Ukar Bratakusumah, Rd Soeratmoko, H Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA), H Abu Bakar Aceh dan Oemar Husein Amin mendudukki jajaran juri.
Baca Juga: D-Dimer Tinggi, Ashanty Sempat Masuk Fase Kritis Saat Divonis Positif Covid-19
Pembangunan Masjid Istiqlal dimulai pada tahun 1961 dengan diletakannya batu pertama oleh Soekarno.
Namun, pada akhir tahun 1965, pengerjaan masjid sempat tersendat karena pasokan dana yang terhenti.
Istiqlal baru rampung pada tahun 1980, hanya empat tahun sebelum wafatnya sang arsitek.
Masa tua
Setelah delapan belas tahun bekerja di Departemen Umum, sang arsitek akhirnya pensiun pada tahun 1965.
Tercatat dalam Rumah Silaban, upah pensiunan yang diterima Friedrich tidak cukup untuk menghidupi dirinya beserta kesepuluh orang anaknya.
Tawaran proyek pembangunan yang biasanya ia terima pun tak kunjung berdatangan.
Alhasil, pada tahun 1967, Friedrich memutuskan untuk mencari pekerjaan ke Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Dalam surat lamaran yang ia kirim, Friedrich menceritakan kesulitan yang dihadapinya di tengah-tengah krisis ekonomi yang tengah melanda.
Gayung tak bersambut, lamaran Friedrich tak mengantarkannya pada pekerjaan apapun.
Baca Juga: Gagal Nikah, Kalina Ocktaranny Sempat Bertanya Pada Tuhan: Gak Layakah Saya Bahagia?
Dalam sebuah surat balasan, Alvaro Ortega, Kepala Penasihan Bangunan Inter-Regional; Departemen Pusat untuk Perumahan, Bangunan dan Perancanaan PBB menyatakan belum ada lowongan yang sesuai bagi Friedrich.
P Simamora dan kawan-kawan, dalam Biografi Friedrich Silaban Perancang arsitektur Masjid Istiqlal menuturkan bahwa Friedrich baru mendapat tawaran proyek mulai pertengahan tahun 1977.
Kala itu, Gubernur Sulawesi Tengah memintanyya merancang Masjid Agung Kota Palu.
Baca Juga: Tiada Maaf Meski Ayus Sabyan Telah Mengaku Khilaf, Ririe Fairus Tetap Urus Sidang Cerai
Meski tak sebesar proyek yang ia garap di sekitar tahun 1960-an, beberapa proyek mulai dikerjakan Friedrich pada tahun 1978.
Sejumlah rumah tinggal pribadi di Bogor dan Jakarta sempat menjadi garapannya.
Namun, memasuki pertengahan 1983, Friedrich mengalami kemunduran kondisi kesehatan. Pada Mei 1984, Friedrich pun meninggal dunia di RSPAD.
(*)
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Kisah Friedrich Silaban, Arsitek Pembuat Masjid Istiqlal yang Hidup Susah sampai Harus Cari Pekerjaan"
Hari Ini, Hotman Paris akan Jalani Pemeriksaan atas Laporan PN Jakut Terhadap Razman
Source | : | KOMPAS.com |
Penulis | : | None |
Editor | : | Mia Della Vita |