Makanan itu akan disantap usai prosesi doa bersama, dan setiap yang hadir, dipersilahkan mengambil makanan dari tenong yang tersedia.
Warga percaya apabila makanan yang mereka sajikan di tenong habis disantap warga, rezeki akan lancar menghampiri.
Untuk diketahui, sejarah nyadran sendiri juga tertuang dalam jurnal, Tradisi Sambatan dan Nyadran di Dusun Suruhan milik Choerul Anam yang mengutip penelitian Tri Handayani.
Berjudul 'Tradisi Nyadran dan Perubahan Studi Kasus di Desa Daleman, Jurangjero', penelitian Tri Handayani menuturkan bahwa nyadran erat kaitannya dengan tradisi Hindu-Buddha.
Sewaktu masuknya Islam pada abad ke-13 yang disebarkan oleh Wali Songo, para wali memasukan unsur dakwah pada tradisi tersebut.
Ini dimaksudkan supaya masyarakat lebih mudah menerima Islam, sekaligus tidak berbenturan dengan kepercayaan yang sudah lebih dulu ada.
Pada jurnal lain milik, Titi Mumfangati dalam Tradisi Ziarah Makam Leluhur pada Masyarakat Jawa menerangkan, tradisi craddha tidak dihilangkan oleh para wali, melainkan diselaraskan dengan ajaran Islam.
Jika dulunya craddha menggunakan puji-pujian, dalam nyadran hal tersebut diganti dengan membaca ayat Al-Qur’an, tahlil, dan doa.
Kemudian ditambahkan dari TribunWiki.com, Nyadran sendiri berasal dari bahasa Sansekerta yang diambil dari kata sraddha yang berarti keyakinan.
Namun, dalam beberapa sumber disebutkan kata Nyadran dalam bahasa Jawa berasal dari kata sadran yang artinya ruwah syakban.
Hal ini lantaran kegiatan tradisi Nyadran dilakukan sebelum bulan Ramadan alias di bulan Sya’ban.
Nyesek, Abidzar Ternyata Sempat Jedotin Kepalanya ke Tembok Usai Tahu Uje Meninggal, Umi Pipik: Dia Nyalahin Dirinya
Source | : | Kompas.com,Tribunnews.com |
Penulis | : | Novia |
Editor | : | Nesiana |