Laporan Wartawan Grid.ID, Novia
Grid.ID - Mendekati Ramadan 2022, biasanya beberapa masyarakat Indonesia masih melestarikan tradisi kejawen.
Sekitar satu bulan jelang Ramadan 2022, tradisi nyadran biasanya paling kerap digelar masyarakat Jawa.
Berlangsung di beberapa daerah, masyarakat memang masih melestarikan gelaran nyadran.
Tradisi nyadran biasa diadakan pada bulan Ruwah (kalender Jawa) atau Sya'ban (kalender Hijiriah).
Untuk diketahui, gelaran tradisi ini tak sebatas berziarah ke makam leluhur saja.
Akan tetapi, juga menjadi ajang berkumpul dan mempererat kebersamaan dengan anggota keluarga dan antar warga.
Dikutip dari Kompas.com, Selasa (22/3/2022), tradisi nyadran disebutkan mengandung arti saling berbagi antar sesama.
Tradisi ini dimaknai juga sebagai ucapan syukur terhadap Tuhan atas segala berkat yang diberi.
Salah satu daerah yang masih melestarikan tradisi ini adalah warga di Dusun Tunggulsari, Desa Sukabumi, Cepogo, Boyolali, Jawa Tengah.
Saat menjalani tradisi nyadran, para warga di lereng Gunung Merapi-Merbabu ini turut membawa tenong berisi makanan.
Makanan itu akan disantap usai prosesi doa bersama, dan setiap yang hadir, dipersilahkan mengambil makanan dari tenong yang tersedia.
Warga percaya apabila makanan yang mereka sajikan di tenong habis disantap warga, rezeki akan lancar menghampiri.
Untuk diketahui, sejarah nyadran sendiri juga tertuang dalam jurnal, Tradisi Sambatan dan Nyadran di Dusun Suruhan milik Choerul Anam yang mengutip penelitian Tri Handayani.
Berjudul 'Tradisi Nyadran dan Perubahan Studi Kasus di Desa Daleman, Jurangjero', penelitian Tri Handayani menuturkan bahwa nyadran erat kaitannya dengan tradisi Hindu-Buddha.
Sewaktu masuknya Islam pada abad ke-13 yang disebarkan oleh Wali Songo, para wali memasukan unsur dakwah pada tradisi tersebut.
Ini dimaksudkan supaya masyarakat lebih mudah menerima Islam, sekaligus tidak berbenturan dengan kepercayaan yang sudah lebih dulu ada.
Pada jurnal lain milik, Titi Mumfangati dalam Tradisi Ziarah Makam Leluhur pada Masyarakat Jawa menerangkan, tradisi craddha tidak dihilangkan oleh para wali, melainkan diselaraskan dengan ajaran Islam.
Jika dulunya craddha menggunakan puji-pujian, dalam nyadran hal tersebut diganti dengan membaca ayat Al-Qur’an, tahlil, dan doa.
Kemudian ditambahkan dari TribunWiki.com, Nyadran sendiri berasal dari bahasa Sansekerta yang diambil dari kata sraddha yang berarti keyakinan.
Namun, dalam beberapa sumber disebutkan kata Nyadran dalam bahasa Jawa berasal dari kata sadran yang artinya ruwah syakban.
Hal ini lantaran kegiatan tradisi Nyadran dilakukan sebelum bulan Ramadan alias di bulan Sya’ban.
Tradisi Nyadran bisa disebut juga mengunjungi makam jamak yang dilakukan oleh masyarakat Jawa di berbagai daerah.
Masyarakat biasa melakukan tradisi Nyadran biasanya dilakukan massal atau berkelompok.
Dalam konteks sosio-kultural, nyadran menjadi media silaturahmi antar keluarga dan masyarakat.
Kemudian, Clifford Geertz dalam bukunya, Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, menyampaikan bahwa nyadran merupakan ekspresi dan ungkapan kesalehan sosial masyarakat.
Itu artinya masyarakat yang mana menjunjung tinggi rasa gotong-royong, solidaritas, dan kebersamaan menjadi pola utamanya.
(*)
Nyesek, Abidzar Ternyata Sempat Jedotin Kepalanya ke Tembok Usai Tahu Uje Meninggal, Umi Pipik: Dia Nyalahin Dirinya
Source | : | Kompas.com,Tribunnews.com |
Penulis | : | Novia |
Editor | : | Nesiana |