“Pada awalnya saya mengira rasa sakit itu cuma sekadar masuk angin. Karena, kalau pas kumat kemudian dikerok permukaan kulit terlihat merah sekali. Tapi saya berusaha bertahan termasuk tidak menceritakan sejujurnya pada anak-anak,” kata pengusaha yang bergerak di bidang perhotelan, restoran serta furniture tersebut.
Ia punya pengalaman menyedihkan, ketika mendampingi anak-anaknya sekolah di Australia, ia harus terdiam sendirian di dalam rumah sambil menahan sakit sampai anaknya datang dari sekolah.
Kendati sangat tersiksa, namun wanita asal Tulungagung tersebut tak mau berkata jujur kepada anak-anak supaya buah hatinya tidak ikut terbebani.
“Saya tidak ingin apa yang saya rasakan ini menjadi beban bagi mereka. Biarlah penderitaan ini cukup saya saja yang merasakan,” katanya.
Puncak dari penderitaan batin itu terjadi ketika salah seorang akupunturis di Surabaya yang menjadi langganan keluarganya menduga kuat bahwa sakit tersebut akibat sel kanker sudah menyebar di area punggung.
Tentu vonis itu membuat dirinya syok. Tapi lagi-lagi ia sama sekali tak menceritakan kepada anak maupun suaminya.
“Yang membuat saya bisa bertahan dan selalu semangat, saya punya prinsip melihat semua persoalan hidup ini secara positif. Jadi meski saya divonis mengidap kanker, tapi saya tidak hanyut dalam kesedihan,” imbuh wanita bertutur kata lembut tersebut.
Puncaknya karena tak kuasa menahan sakit ditambah fisiknya drop, suatu pagi buta sebelum keluarganya bangun tidur dia berangkat sendirian hanya diantar sopir ke UGD.
“Bahkan pengalaman ke UGD itu sampai dua kali,” imbuh pengusaha sukses yang merintis usaha dari nol itu.
Begitu melihat ibunya sering mengalami sakit oleh anak-anaknya dia dibawa ke Singapura untuk dilakukan general check up.
Yang membuat ia terkejut sekaligus bahagia, dari hasil rekam kesehatan tersebut diketahui penyebab sakit akibat terjadi kerusakan di tulang leher, bukan dari tumor atau kanker.
“Begitu dinyatakan tidak ada tumor atau kanker, saya baru bisa tertawa lebar. Disana anak-anak baru saya beri tahu bahwa selama ini saya sengaja menutup diri dan tidak menceritakan sakit saya yang sejujurnya,” katanya sambil tertawa geli.
Ketika sudah diketahui penyebab ia segera kembali ke rumah untuk berembug dengan keluarganya mencari dokter yang tepat untuk kesembuhan sakitnya.
Tak lama sepulang dari Singapura dia mendapat informasi dari temannya, seorang perawat, bahwa di Surabaya ada seorang dokter bedah saraf yang ahli menangani sakit seperti yang dia alami.
“Begitu saya mendapat informasi, tak menunggu berlama-lama, saya diantar suami menemui dr. Sofyan, yang dimaksud perawat di rumah sakit,” katanya penuh semangat.
Di ruang praktek, dokter Sofyan menjelaskan penyebab nyeri hebat yang sudah menahun itu akibat ada dua ruas tulang batang lehernya mengalami kerusakan.
Kerusakan tulang itu kemudian mendesak saraf-saraf penting yang ada di sekitarnya.
Tekanan itu menjadi pemicu mengapa bagian tubuhnya menjadi sakit yang makin hari makin hebat.
Mengingat kerusakan itu cukup parah, maka satu-satunya cara yang bisa dilakukan hanyalah dengan jalan operasi.
Foto: Gandhi
Siti mengakui penjelasan dokter yang sangat gamblang itu sudah cukup baginya untuk segera mengambil keputusan dirinya harus segera operasi.
“Tidak pakai pikir-pikir lagi, saya sreg! Sangat yakin, dan langsung minta segera dilakukan operasi biar penderitaan panjang saya segera berakhir,” tuturnya menceritakan operasi yang berjalan tahun lalu.
“Alhamdulillah!” kata Siti Roniah Mindar, setelah operasi yang berjalan sekitar tiga jam lamanya itu semua sakit ia rasakan selama ini langsung hilang.
"Tidak ada sesuatu yang lebih indah yang bisa saya lakukan saat ini kecuali hanya bersyukur kepada Allah,” katanya dengan senyum mengembang.
Dokter M. Sofyanto, SpBS, dari Comprehensif Brine and Spine Centre (CBSC) Surabaya, menjelaskan bahwa sakit yang diderita Siti Roniah Mindar disebut dengan spondylosis cervical (SC) atau istilah awamnya kecetit leher.
Sofyan menguraikan, struktur tulang leher manusia terdiri dari tujuh ruas. Di antara satu ruas dengan lainnya ada bantalan yang disebut discus.
Discus sendiri fungsi utamanya agar leher bisa bergerak secara leluasa, menengok kekanan kiri, mendongak dengan smoth dan sebagainya.
Yang terjadi pada penderita SC, discus yang lebarnya 1,4 cm dengan tebal 0,5 mm mengalami kerusakan. Jenis kerusakan sendiri bisa sekadar aus atau bahkan pecah.
Kerusakan itu bisa diakibatkan banyak hal, bisa faktor usia, kecelakaan, karena jenis pekerjaan tertentu juga olahraga. Pecahan discus tersebut kemudian menyembul keluar dari “tempatnya tinggalnya”.
Yang menjadi masalah di tengah ruas batang leher itu terdapat sumsum berasal dari otak menuju tulang ekor.
Sumsum sendiri fisiknya menyerupai tabung sebesar batang jempol yang berisi sel saraf dan cairan merupakan sentral dari semua fungsi yang ada dalam tubuh manusia.
Mulai fungsi nafas, tangan, seksual, kencing, menggerakan kaki dan lainnya.
Karena discus itu rusak dan menyembul menekan sumsum yang ada di sana.
“Karena sumsumnya terjepit, maka fungsi tubuh menjadi bermasalah,” jelas Sofyan yang saat ini berpartner dengan dr. Gigih Pramono, SpBS serta dr. Agus Chairul Anab, SpBS serta dr. N Budi Setiawan, SpBS tersebut.
Selama ini lanjut Sofyan, kerusakan discus seringkali tidak diketahui, pasalnya, “alarm” sebagai penanda terjadi masalah seringkali tidak berbunyi. Istilahnya, apabila mengalami kerusakan tidak terasa.
Soalnya beban leher manusia itu hanya sekitar 3,5 kilogram, sehingga sekalipun terjadi kerusakan orang tidak merasakan sesuatu.
“Padahal orang tidak sadar bahwa itu sebenarnya tanda terjadi kerusakan pada discus tersebut,” papar Sofyan.
Untuk menangani SC ini sekarang ada teknologi kedokteran canggih yang berfungsi sebagai pengganti discus yang rusak tersebut.
Alat penganti tersebut disebut dengan cervical mobile prostesis (CMP).
Sementara teknik operasinya disebut dengan anterior micro disectomy (AMD).
Caranya dilakukan sayatan 2 cm di leher bagian depan bersebelahan dengan batang tenggorok.
Selanjutnya dengan microskop khusus discus yang sudah rusak yang ada diantara ruas tulang batang leher tersebut dikeluarkan sampai tidak ada lagi yang menekan sumsum.
Setelah discus dikeluarakan baru kemudian CMP dimasukkan sebagai pengantinya.
“Karena sayatan sangat kecil, keesokan harinya pasien sudah bisa pulang dan langsung beraktivitas seperti sediakala, dan leher sudah bebeas digerakkan,” jelas Sofyan yang mengembangkan teknik ini pada tahun 2008 sepulang belajar dari Perancis.
Teknik AMD ini beda sekali dengan teknologi lama.
Kalau cara lama, tulang discus yang rusak dibersihkan kemudian antara satu ruas dengan ruas berikutnya dimatikan dengan cara dipasang plat dan di-mur.
Setelah operasi pasien tidak boleh bergerak sekitar 2-3 bulan dengan cara diberi alat penyangga.
“Dampaknya, pasien tidak nyaman bahkan kadang kesakitan karena otot kaku akibat tidak digerakkan dalam jangka waktu lama,” timpal dr. Sofyan yang praktik di Rumah Sakit National Hospital Surabaya.
Gandhi Wasono M.