Wahyu menyatakan berdasarkan simulasi model analitik-numerik, Kora Palu-Kabupaten Donggala dan sekitarnya mengalami deformasi vertikal berkisar antara -1,5 sampai 0,50 meter.
"Daratan di sepanjang pantai di Palu Utara, Towaeli, Sindue, Sirenja, Balaesang, diperkirakan mengalami penurunan 0,5-1 meter dan di Banwa mengalami penaikan 0,3 sentimeter", kata Wahyu.
Gempa bumi ini berpusat di darat dengan sekitar 50 persen proyeksi bidang patahannya berada di darat dan sisanya di laut.
"Komponen deformasi vertikal gempa bumi di laut ini yang berpotensi menimbulkan tsunami", tandas Wahyu.
Longsor sedimen dasar laut
Pada Sabtu (29/9/2018), BNPB menyungkapkan bahwa tsunami terjadi karena dua sebab, yakni gempa berkekuatan 7,4 SR di Donggala dan adanya longsoran bawah laut.
Lalu, bagaimana kedua sebab itu berpadu dan menimbulkan tsunami?
Peneliti dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Widjo Kongko menuturkan jika sesar Palu Koro memanjang dari daratan Sulawesi Tengah dan sepertiganya menjorok ke lautan.
Ketika terjadi gempa dengan mekanisme sesar geser, gelombang gempa dari episentrum di daratan dihantarkan ke sepanjang jalur sesar dan wilayah sekitarnya termasuk ke lautan.
Akibat penghantaran gelombang, wilayah di sekitar episentrum, terutama di sepanjang sesar bergetar kuat.
Di teluk Palu, bagian barat Sulawesi Tengah, gempa mengguncang dasar laut dan memengaruhi akumulasi sedimen yang ada.
"Ketika diguncang gempa, akhirnya sedimen itu runtuh dan longsor", kata Sutopo.
Widjo juga mengatakan jika skenario longsor itu sebenarnya masih berupa spekulasi.
"Perlu ada survei distribusi di lapangan dan pemetaan batimetri detail" katanya. (*)
Source | : | Kompas.com,bobo.id,Wikipedia |
Penulis | : | Septiyanti Dwi Cahyani |
Editor | : | Septiyanti Dwi Cahyani |