Ia perhatikan lagi, temaram senja tak menghalangi matanya untuk mencari anak-anaknya. Enteng sapu pandangan ke sekitar, tidak ada anaknya.
Yang ia saksikan adalah jasad-jasad yang bergelimpangan, ia tidak tahu apakah mereka masih hidup atau sudah meninggal. Ia juga tidak ingat apakah di antara yang terbaring ini adalah keluarganya, tetangganya atau teman sesama pedagang.
Baca Juga : Kisah Pendekar Listrik yang Rela Bergelantungan di Atas Tiang Demi Pulihkan Palu
"Saya sedih, tidak ada anak saya tiga-tiganya," kata Enteng lirih.
Lututnya tiba-tiba lemah, ia sedih sesedih-sedihnya. Gelapnya malam tak bisa menyembunyikan air matanya. Ia menangis sejadi-jadinya di pantai yang porak-poranda.
Namun tangis Enteng seperti tak berarti, karena ada banyak suara minta tolong kesakitan yang menyayat di sepanjang Pantai Talise.
Malam itu Pemerintah Kota Palu telah menjanjikan Festival Pesona Nomoni 2018 yang megah dan meriah, lampu dan kembang api bergoyang bersama musik dan nyanyian.
Kini kemeriahannya berganti dengan lolongan kesakitan tatusan orang dan rasa kehilangan yang sangat.
Baca Juga : 7 Manfaat Mandi Air Dingin di Pagi Hari, dari Memberikan Energi hingga Menurunkan Berat Badan!
Suara musik berganti gemuruh laut yang murka, yang membawa berton-ton air dan menabrakkan pada siapa saya yang ada di depannya.
Enteng, wanita perkasa ini luruh. Air matanya mengalir deras, ketiga anaknya direnggut gelombang tsunami di depan matanya.
Bulan yang benderang di angkasa menerangi wajahnya. Luka-luka di sekujur tubuhnya mulai terasa nyeri. Kulit tangannya terparut entah oleh benda apa, juga kakinya berdarah-darah tak tahu disebabkan oleh apa.