"Saya dibayar cukup tinggi untuk sebuah penugasan di Sulteng oleh sebuah lembaga international. Bagi mereka itu harga yang pantas untuk person yang bisa tiba dengan segera di lokasi bencana dan bisa melakukan tugas-tugas dengan target yang tinggi. Tapi bagi saya, upah itu berlebihan untuk diri saya. Beberapa hari lalu saya sudah tuntas menyelesaikan seluruh list pekerjaan yang mereka minta dan mereka membayarnya. (800 USD per day selama seminggu),", tulisnya.
Ronny juga mengatakan bahwa kondisi yang ia temui sering membuatnya menahan untuk tidak menangis.
Baca Juga : Kisah Inspiratif Polisi yang Rawat Lebih dari 100 Anak Yatim, Dapat Apresiasi dari Kapolri
Apalagi, Ronny juga harus menahan merekam kondisi anak-anak di pengungsian untuk dokumentasi UNICEF selama tiga hari.
"Selama bertugas saya seringkali menahan emosi agar air mata tak keluar menyaksikan kondisi korban gempa, tsunami, likuifaksi di Palu, Donggala dan Sigi. Terlebih 3 hari terakhir saya harus menyelesaikan penugasan khusus merekam kondisi anak-anak di pengungsian untuk dokumentasi UNICEF," lanjutnya
Ronny juga menceritakan kondisi relawan lain yang ada di sana, seperti paramedis yang bersedia tidak dibayar.
"Secara pribadi saya merasa tidak adil jika mengambil semua upah itu, sementara banyak relawan lainnya yang datang hanya dengan modal tenaga, paramedis yang bersedia tidak dibayar dan petugas-petugas lainnya yang datang tanpa pamrih," terangnya.
Baca Juga : Gempa Donggala, Kisah Dokter Spesialis Naik Perahu di Tengah Ombak Besar
Viral, Warung Mie Ayam di Magelang Ini Banderol Harga Rp 2 Ribu per Mangkok, Penjual Akui Gak Rugi dan Malah Makin Laris, Ini Alasannya
Source | : | facebook/Ronny Buol |
Penulis | : | Novita Desy Prasetyowati |
Editor | : | Novita Desy Prasetyowati |