Yang boleh melakukan skarifikasi ini sendiri adalah ketua adat suku Chambri.
Kulit mereka akan disayat sepanhang 2 cm.
Hal ini dilakukan secara berulang-ulang hingga membentuk pola di punggung, lengan, dada, dan bokong.
Tak ada anestasi dalam prosesi skarifikasi ini, jadi bisa dibayangkan betapa sakitnya kulit disayat berkali-kali oleh silet.
Lebih sakitnya lagi, skarifikasi tak bisa selesai dalam satu sesi saja.
Karena harus menunggu kulit yang disayat pulih lagi kemudian baru menyayat lagi, begitu seterusnya sampai membentuk pola yang diinginkan.
Untuk penghilang rasa nyeri akibat sayatan silet, maka anak-anak usia 11 tahun itu hanya boleh mengunyah semacam daun tanaman obat.
Usai menyayat kulit, mereka disuruh berbaring di dekat perapian sehingga hawa panas akan tertiup ke luka-luka bekas sayatan.
Setelahnya luka sayatan akan diolesi tanah liat dan minyak pohon.
Tujuannya agar luka tak terinfeksi bakteri.
Usai sembuh maka anak laki-laki bersangkutan akan mengenakan hiasan kepala dan perhiasan sebagai upacara bahwasanya mereka sudah dewasa.(*)
Kimberly Ryder Klarifikasi soal Lemari Plastik yang Jadi Omongan Netizen, Ada Sejarah Miris di Baliknya
Source | : | News.com.au,national geographic indonesia |
Penulis | : | Seto Ajinugroho |
Editor | : | Seto Ajinugroho |