Suatu hari, nanti, saya ingin seperti itu.
(BACA JUGA Menyusuri Jejak Langkah Sang Pengembara (1))
Yang pasti, saat akan mengucapkan salam perpisahan dengan keluarga baru itu, saya menyiratkan kebanggaan.
Mereka telah menanamkan arti dari kesederhanaan, tulus, kebahagiaan dan rasa percaya yang dibungkus rapi, lalu mereka ‘titipkan’ ke pori-pori saya untuk saya jadikan kitab baru di perjalanan panjang saya.
Lalu, kala menginjakkan kaki ke Gorontalo, beruntung saya lagi-lagi saya punya kawan lama di situ namanya Rahmat. Rahmat adalah kawan saya semasa kuliah dulu.
Dari semua kisah yang diceritakan Rahmat, semakin membuat mata hati saya terbuka lebar, bahwa perjalanan yang saya lakoni ini bukanlah semata keinginan panjang saya dan hasrat untuk menggapai nawacita, tapi ternyata, ada sisi lain dari perjalan ini yang saya tarik.
Bahwa perjalanan hidup orang lain menambah khasanah saya pribadi, untuk ke depan agar bisa bisa menghadapi kendala hidup.
Mmulai dari bagaimana menjalani hidup berkeluarga, toleransi beragama maupun bagaimana tetap tersenyum saat kesusahan sedang menari-nari di altar pikiran kita.
Di Halmahera saya bertemu dan berkenalan dengan dua pria bernama Sarto dan Aten.
Sarto tanpa diduga mengizinkan saya tinggal di rumah mereka di sebuah desa yang bahkan saya belum pernah mendengar namanya.
Rasa percaya mereka kepada orang asing membuat saya salut, padahal kami hanya bertemu 2 jam di sebuah mobil pikap.
Mereka lalu keluarga itu menjadi keluarga baru bagi saya.
Di Tanah Toraja saya hampir putus asa ketika tidak ada kenalan untuk numpang tinggal.
Gagal Move On dan Tak Terima sang Mantan Pacar Sudah Punya Kekasih Baru, Pria Ini Culik sang Wanita tapi Keciduk Polisi, Begini Akhirnya