Grid.ID - Mengembara bagi Moonstar Simanjuntak awalnya bagai mimpi. Namun mimpi itu mulai menjadi kenyataan di tahun 2014. Berbagai peristiwa mengharukan dan ajaib pun dialaminya. Seperti apa Moonstar sang pengelana menggapai mimpinya? Ikuti kisah bagian kedua ini.
7 Mei 2015, hari itu, tanggal itu, saya dengan sejuta impian dan harapan mulai melangkah dan memahat perjalanan sejarah pribadi yang awalnya hanya ingin saya nikmati sendiri.
Namun ternyata goresan sejarah yang saya buat itu tak kuasa untuk direkam dalam tiap inci urat tubuh ini.
Saya tak kuasa menyimpan goresan sejarah hanya untuk nelangsa malam hari kala mata sendu terpejam di bawah juntaian bintang.
Setahun perjalanan ini, izinkan saya memberikan sebuah persembahan rasa hormat saya kepada orang-orang yang telah secara tak sengaja telah menjadi bagian keluarga bagi diri saya sampai saat saya menuliskan rasa terima kasih ini.
Seperti awal-awal perjalanan, saya ingat di Tomohon saat ingin melanjutkan perjalanan ke Bitung.
Awal-awal perjalanan adalah hari-hari tersulit bagi saya pribadi sebagai seorang yang masih ‘amatir’ untuk melakukan pengembaraan.
Namun, teman saya Gina dan suaminya Yudy seakan memudahkan saya untuk melakukan pengembaraan.
Keluarga kecil ini seakan membuat saya iri melihat bagaimana cara mereka hidup dalam sebuah kesederhanaan dan kehangatan.
Bagaimana mereka memperlakukan saya selaku tamu walapun bertahun-tahun tak pernah bertatap muka, namun tak sekalipun mereka keluarga kecil ini menganggap saya sebagai seorang asing.
Betapa hebatnya Gina dan Yudhy, mereka berdua bersama-sama melakukan aktifitas, tanpa mereka sadari saya mengiri melihat hal itu.
Mereka begitu memburatkan kebahagiaan, sederhana, bersama, bahagia, tertawa, sesekali mendapat rengutan sang anak yang kedinginan membuat saya sedikit menundukkan wajah.
Suatu hari, nanti, saya ingin seperti itu.
(BACA JUGA Menyusuri Jejak Langkah Sang Pengembara (1))
Yang pasti, saat akan mengucapkan salam perpisahan dengan keluarga baru itu, saya menyiratkan kebanggaan.
Mereka telah menanamkan arti dari kesederhanaan, tulus, kebahagiaan dan rasa percaya yang dibungkus rapi, lalu mereka ‘titipkan’ ke pori-pori saya untuk saya jadikan kitab baru di perjalanan panjang saya.
Lalu, kala menginjakkan kaki ke Gorontalo, beruntung saya lagi-lagi saya punya kawan lama di situ namanya Rahmat. Rahmat adalah kawan saya semasa kuliah dulu.
Dari semua kisah yang diceritakan Rahmat, semakin membuat mata hati saya terbuka lebar, bahwa perjalanan yang saya lakoni ini bukanlah semata keinginan panjang saya dan hasrat untuk menggapai nawacita, tapi ternyata, ada sisi lain dari perjalan ini yang saya tarik.
Bahwa perjalanan hidup orang lain menambah khasanah saya pribadi, untuk ke depan agar bisa bisa menghadapi kendala hidup.
Mmulai dari bagaimana menjalani hidup berkeluarga, toleransi beragama maupun bagaimana tetap tersenyum saat kesusahan sedang menari-nari di altar pikiran kita.
Di Halmahera saya bertemu dan berkenalan dengan dua pria bernama Sarto dan Aten.
Sarto tanpa diduga mengizinkan saya tinggal di rumah mereka di sebuah desa yang bahkan saya belum pernah mendengar namanya.
Rasa percaya mereka kepada orang asing membuat saya salut, padahal kami hanya bertemu 2 jam di sebuah mobil pikap.
Mereka lalu keluarga itu menjadi keluarga baru bagi saya.
Di Tanah Toraja saya hampir putus asa ketika tidak ada kenalan untuk numpang tinggal.
Saya berjalan di sekitar Pasar Toraja dan melihat ada mobil dengan sekitarnya orang-orang menggunakan pakaian hitam .
Saya bertanya mereka kemana? Seseorang bernama Elwin menjawab kita mau ke pesta kawinan keluarga.
Saya mendapat ijin ikut duduk makan bersama keluarga pak Elwin.
Ketika pulang, pak Elwin menawarkan rumahnya untuk menginap, tapi katanya jauh dari kota.
Saya mengiyakan dan ikut ke rumahnya di kampung Bokin.
Ternyata kampungya bak surga dengan hamparan hijau sawah dan kabut pagi naik ketika matahari muncul.
Cerita kebaikan orang Indonesia juga terekam kala saya di Malinau, bagaimana seorang sopir yang berhati mulia mau menampung saya, Anto namanya.
Padahal, dengan isu-isu banyaknya kejahatan di jalan lintas tentu akan membuat orang berpikir seribu kali menerima orang asing menempuh perjalanan panjang.
Tapi tidak dengan Anto, dia dengan iklas menerima saya menumpang di mobil ekspedisinya.
Sempat tidur di salah satu kebun sawit dalam perjalanan dan bergabung dengan supir truck ekspedisi lainya.
Rasa takut khawatir ada tetapi semua terlewati karena mas anto orang baik.
Lain lagi cerita Berti Sitompul, wanita yang banyak membantu saya selama di pontianak.
Di Pontianak, juga saya menemukan bukti orang-orang Indonesia itu baik-baik.
Adalah Lae Jotty dan Berti, mereka ini orang yang mau menampung saya selama di sana, walaupun memang Lae Jotty sebetulnya sudah saya kenal, namun tetap saja jika saja Tuhan tak mengizinkan mungkin saya tak akan bisa bertemu dengan beliau.
Sedangkan Berti sendiri baru saya kenal selama di Pontianak namun beberapa hari bersama dia, seakan-akan kami sudah saling mengenal belasan tahun.
Di sini saya melihat rasa saling percaya antar sesama manusialah yang membuat saya merasa bisa diterima.
Dengan bantuan berti saya kehabisan uang ia mencarikan saya pekerjaan menjadi buruh harian mengaspal jalan di area Supadio Pontianak. Karena saya memohon untuk bekerja sehingga saya bisa pindah pulau.
Pulau Sumba yang sangat ramah dan bersaudara ketika saya tidak kenal sama mereka hanya kenal di kenalkan teman membuat saya memberanikan diri ke sana dengan modal nama dan nomor telepon saya menuju sumba.
Di sana ada kakak merlyn yang hanya nama dan alamat rumah di waitabula sumba barat daya untuk saya cari. Kemudian saya bertemu beliau i pertama kali .
Sebenarnya kakak Merlyn merupakan saudara dari Romo Christo salah seorang yang merekomendasikan saya untuk bertemu kakak merlyn.
Akan tetapi Romo Christo pun di rekomendasikan oleh kakak Maria Dara yang ada di Jakarta.
Kakak Maria Dara saya juga dikenalkan oleh mas Icay teman satu perjuangan di kantor Kompas Gramedia dulu.
Saya membantu d irumah mencuci piring, memasak dan ikut kehidupan merek.
Saya akhirnya menjadi bagian dari keluarga Nani Boeloe.
Mereka terima saya dan akhirnya hingga kini hubungan ini terjaga dengan baik.
Sementara saat saya di Bali, saya bertemu banyak orang yang baik I Gusti Putu Wiyani yang sudi menerima saya untuk bisa tahu arti cinta dan karma.
Dimana apa yang kau tabur itu yang kau tuai. Jika kau menabur kebaikan suatu saat kamu akan menuainya.
Ditambah mengenal Mahaguru Gede yang telah mengajarkan saya arti sebuah hidup dari sisi spiritual, tanpa ia memandang perbedaan keyakinan antara saya dan dia.
Semua pelajaran hidup yang ia berikan ke saya saat kami berbincang sedikit banyak telah merubah pola pandang saya selaku manusia terhadap manusia lainnya.
Dia menanamkan agar saya meningkatkan nilai spiritual saya.
Mahaguru membuat mata saya terbuka, bahwa manusia banyak kelemahannya jika harus dihadapkan kepada bentuk godaan apa saja, apakah itu harta, tahta maupun bentuk godaan lain.
Lagi-lagi, Bali mengajarkan saya bahwa hidup ini bukanlah sekedar perhitungan untung-rugi maupun maju-mundur, tapi soal bagaimana tidak ada yang merasa dirugikan dan tidak menguntungkan diri sendiri.
Di sana juga saya bertemu Pak Gus dan Mas Indra. Ada satu kutipan Mas Indra yang akan saya rekam selamanya selama hidup saya,
Mas Indra dia salah seorang pengembara juga.
Sambil tersenyum dia cuma bilang bahwa dia seorang pengembara tapi tidak ada jejaknya.
Dia percaya bahwa jika kita berbuat baik maka akan ada jalan dipertemukan dengan orang baik.
Dalam perjalanan spiritualnya Mas Indra hanya berpesan suatu saat, saya akan menemukan persimpangan dan memilih antara ego dan bijaksana.
Dan salah satu yang punya kesan mendalam bagi saya selama melakukan perjalanan pengembaraan ini adalah kala saya lama menginjakkan kaki di Mojokerto.
Di sana, saya bertemu dengan banyak orang-orang ‘gila’.
Di sana, hampir setengah hati saya telah saya tinggalkan, orang-orang yang saya temui di sana memang orang-orang yang total dan loyal kepada seni dan kehidupan tradisi.
Keluarga besar warung rakyat di Mojokerto yang membuat saya menjadikan tempat ini istimewa dalam perjalanan pengembara.
Ada nama Mas Lean Triana Agusta, sepanjang saya memandang sang pemilik Warung Rakyat di Mojokerto itu, merupakan sosok orang yang mau berbagi karena dia merasa apa yang ia miliki adalah gerbang untuk memperkuat seni.
Dia hanya berpikir jika ia berbuat baik maka suatu hari akan ada balasan yang ia terima.
Ada juga bang Untung Sitanggang, yang juga sebagai seseorang yang berandil cukup besar dalam perkembangan komunitas di Mojokerto dan salah seorang yang saya rasa cukup berjasa membuat Warung Rakyat menjadi trendsetter di kalangan komunitas di sana.
Perjalanan pengembaraan ini sebetulnya tidak akan pernah bisa saya rasakan tanpa sebuah restu dari orang tua.
Saya masih ingat bagaimana Mamak saya menitipkan pesan agar saya segera pulang dan hidup normal setelah saya puas menjalani apa yang telah saya cita-citakan.
Saya menitikkan air mata kala sebuah kalimat “Mamak sudah bangga sama kamu,” cukup membuat hati saya terenyuh, dan membuat saya berjanji dalam hat.
Suatu hari Mamak akan kembali memeluk anakmu ini dalam keadaan selamat dan akan membuat keluarga lebih bangga lagi dari sekarang apa yang mampu saya persembahkan.
Saya memang telah berani membuat sebuah keputusan meninggalkan dunia normal, sebuah pekerjaan yang cukup menjanjikan, semua saya tinggalkan demi sebuah cita-cita, dan suatu hari saya akan kembali dan mencium lagi keningmu yang telah terkerut usia.(*)