Majid pun tak lepas dari bahaya yang mencekam. Setelah menghantam beton pembatas, air setinggi sekitar dua meter itu kemudian mengarah padanya dengan sangat cepat.
“Tambak milik saya tempat saya berdiri saat itu, hanya berjarak sekitar 100 meter. Jadi, saya tak bisa lagi berlari untuk menyelamatkan diri. Gelombang datang langsung menenggelamkan tubuh saya, kemudian menghempaskan ke darat sekitar 150 meter dari titik saya berdiri,” papar Majid yang kini harus tinggal di pengungsian.
Maut terasa berada di depan mata. Majid tak lagi bisa berbuat apa-apa ketika dengan cepat pula gelombang menyeret dirinya kembali ke laut.
Ia hanya bisa pasrah, menyandarkan diri pada Kuasa Allah.
Ia beruntung tubuhnya tersangkut pada sebatang pohon sehingga tidak terbawa ke tengah samudera.
Baca Juga : Sempat Ogah Gantikan Posisi Almarhum Olga Syahputra, Akhirnya Billy Saputra Luluh Berkat Kalimat Ini
“Pohon itu menjadi kenang-kenangan karena telah menyelamatkan saya. Di pohon itulah saya tersangkut, ” papar pria asal Pasuruan, Jawa Timur, itu sambil menunjuk sebuah pohon.
Begitu air sudah kembali ke tengah laut, pemandangan berubah mencekam. Majid melihat hampir semua bangunan di tepi pantai ambruk dihantam ombak.
Matanya nanar menyaksikan jasad manusia bergelimpangan bersama bongkahan-bongkahan bangunan yang berserakan.
Ditambah lagi berhektar-hektar tambak, termasuk miliknya, lenyap hanya dalam sekejap.
“Pematang antar satu petak tambak garam dengan lainnya tidak ada lagi, karena tertimbun lumpur dan berbagai material. Demikian pula mesin diesel untuk menyedot air laut ke kolam penampungan beserta pipa paralon, lenyap entah ke mana,” ujar Majid yang sudah 20 tahun merantau ke Palu dan menikah dengan warga setempat.
Musibah itu membuat beban Majid bertumpuk-tumpuk. Selain lahan garapannya hilang, rumahnya juga ambruk sehingga ia harus tinggal di tenda pengungsian.