“Yang membuat saya bersyukur, istri dan anak-anak saya selamat,” ujarnya.
BANGKIT DARI KETERPURUKAN
Musibah tersebut membuat semua petani garam Pantai Talise sempat putus harapan karena kehilangan mata pencarian utamanya.
“Bagaimana kami tidak bingung, garam itu menjadi sumber utama kami. Begitu lahan lenyap, hilang pula sumber penghidupan kami. Semua jadi mandeg,” timpal Haris, yang sudah sejak SD tahun 70-an menjadi petani garam membantu ayahnya, Saleh Lagoda.
Majid menambahkan, sebelum tsunami datang menerpa, dari tiga petak tambak garam yang total luasnya 2.400 meter pesegi itu mendatangkan hasil yang lumayan.
Sebulan dengan masa lima kali panen, bisa menghasilkan Rp 8 juta sampai Rp 9 juta.
“Bisa dibayangkan begitu mendeg, ekonomi keluarga jadi oleng,” jelas Majid.
Majid menambahkan, garam produksi para petani di pantai Talise bisa digunakan untuk berbagai keperluan. Untuk garam berkualitas bagus dengan ciri butiran kristal besar-besar dan putih bersih digunakan untuk konsumsi memasak.
“Jenis garam ini harganya paling tinggi. Satu karung dengan ukuran 60 kg, dijual dengan harga Rp 100 ribu,” papar Majid.
Untuk garam kualitas nomor dua yang bentuknya lebih lembut dan sedikit bercampur dengan tanah, 1 karung bisa terjual Rp 80 ribu.
“Garam jenis ini digunakan untuk campuran pupuk. Tanah pertanian di Palu, rata-rata proses pemupukannya menggunakan campuran garam. Karena itulah, kebutuhan garam di Palu lumayan tinggi,” tambah Majid.
Salah satu petani garam yang segera bangkit dan tak mau larut dalam kesedihan adalah Syahrudin.