Setelah 10 hari gempa, ia berusaha bangkit. Ia sadar tak boleh selamanya larut dalam kesedihan karena hidup harus tetap terus berlanjut.
“Memang saat itu suasana Palu sangat berduka. Bayangkan, ribuan orang menjadi korban. Rumah kami pun sudah hancur, sehingga kami harus tinggal di pengungsian. Namun, saya harus segera bangkit karena keluarga, kan, butuh hidup,” ujar Syahrudin.
Bapak tiga anak ini mulai membersihkan lahan tambak garamnya dari puing-puing sampah.
Syahrudin mencoba mencari garis pembatas antara satu lahan dengan lahan lainnya. Ia kemudian mencangkul untuk membuat petak-petak lahan.
Rupanya, langkah Syahrudin membuat teman-temannya yang lain juga ikut terlecut untuk mengikutinya. Mereka tak bisa terus-menerus duduk termangu di tenda pengungsian menunggu bantuan.
“Jujur saja, begitu melihat Bang Syahrudin mulai bekerja, saya juga ikut-ikutan melakukannya,” ujar Majid.
Akan tetapi, langkah mereka terbentur dana. Untuk membuat petak lahan, butuh biaya yang tidak sedikit.
Di sisi lain, mereka sudah tidak punya apa-apa lagi. Semua tabungan dan harta yang ada, sudah lenyap ditelan bencana.
Untuk membuat lahan baru, lanjut Majid, harus membuat kubangan-kubangan sebesar lahan yang dimiliki. Setelah itu, butuh diesel penyedot air laut, papan, selang paralon dan masih banyak lagi. “Butuh dana jutaan rupiah. Kami sebagai petani kecil tentu sulit, apalagi kami juga dalam posisi tertimpa musibah, ” papar Majid yang juga menjadi agen penjualan garam.
Beruntung, di tengah kesulitan JMK-OXFAM datang mengulurkan bantuan dana dan fasilitas. Majid pun kembali menemukan harapan. Kini, Majid dan rekan-rekannya kembali mengolah lahan, membuat tambak garam baru. Mereka pun optimis bisa kembali menata kehidupannya. “Sungguh bantuan mereka menjadi berkah yang memberikan harapan,” kata Majid.
REJEKI UNTUK IBU
Kebahagiaan serupa juga diungkapan oleh Wilda (42).
Ibu dua orang anak yang tinggal di Jl. Sam Ratulangi, Palu tersebut juga merasa bersyukur dengan kehadian JMK-OXFAM untuk membantu para petani garam yang dililit masalah paska gempa. “Sebagai orang kecil tentu bantuan ini sangat luar biasa,” kata istri dari Andi Baso yang bekerja di Dinas Sosial tersebut.
Wilda menjelaskan setelah ayahnya Mashudi Labaco, meninggal di awal tahun 2018 lalu kemudian anaknya masing-masing diberi warisan sepetak lahan garapan di Pantai Talise.
Tapi meski lahan garapan itu menjadi haknya sebagai anak yang ingin berbakti kepada orang tua sehingga penghasilan sebagai petani garam itu setiap bulannya tidak diambol tetapi sengaja diberikan kepada sang ibu yang menjanda. “Meski tidak banyak lumayanlah untuk tambahan kebutuhan sehari-hari karena bapak kan sudah tidak ada ada,” katanya.
Tapi sudah kehendak Tuhan, tiba-tiba di terjadi gempa dan tsunami yang menghilangkan lahan garam miliknya seluas 1.200 meter yang selama ini sebagai sumber mata pencahariannya tersebut.
Budiman Widyanarko, project officer JMK-OXFAM, menjelaskan pihaknya memiliki program yang bernama Emergency Food Security Venurable and Livelihood (EFSVL) atau ketahanan darurat pangan dan keberlanjutan penghidupan.
“Jika mereka tidak segera bekerja dan berpenghasilkan, maka akan menganggu kelangsungan hidupnya. Pada akhirnya akan memiliki dampak sosial yang lebih luas,” ujar Budiman.
Langkah awal yang dilakukan adalah mendata petani garam yang perlu mendapatkan bantuan atau manfaat dalam proyek ini. Dari hasil pendataan, JMK-OXFAM menetapkan 160 petani garam yang tergabung dalam 16 kelompok. “Kami sudah melakukan rapat koordinasi dengan para petani dan sudah melakukan assessment. “
Gandhi Wasono M.