Laporan Wartawan Grid.ID, Arif Budhi Suryanto
Grid.ID - Kudus (55), warga RT02/07 Kelurahan Kalianyar, Kecamatan Tambora, Jakarta Barat, harus hidup gelap-gelapan di tengah gemerlap cahaya Ibu Kota.
Kondisi ini sudah dialaminya sejak 10 tahun silam sejak dirinya tidak sanggup membayar iuran listrik.
"Terakhir itu tahun 2009, saya (masih) kerja. Selepas saya enggak kerja, ya sudah listriknya siapa yang mau bayar, akhirnya diputus. Saklar dan yang berhubungan dengan listrik juga sudah enggak ada," ungkapnya, seperti yang Grid.ID kutip dari Tribun Jakarta.
Kehidupan yang dijalaninya saat ini begitu kontras jika menilik masa lalu Kudus dulu.
Menurutnya, ketika kedua orang tuanya dulu masih hidup, kehidupan keluarga dapat dibilang berkecukupan.
"Bapak saya PNS di Dinas Kebersihan. Kemudian beliau meninggal sekira tahun 1997 karena penyakit diabetes. Tapi sebelum Bapak meninggal, Ibu saya lebih dulu meninggal karena penyakit asma," tuturnya, Jumat (01/11/2019).
Usai kedua orang tuanya meninggal, Kudus pun memutuskan untuk mencari pekerjaan hingga akhirnya ia diterima sebagai Cleaning Service di Monumen Nasional (Monas).
"Sejak orang tua meninggal mulai terasa perubahan ekonominya. Tapi saat itu saya masih kerja jadi Cleaning Service di Monas mulai tahun 2000 hingga 2009," tuturnya.
Namun, dari hasil pekerjaannya itu, ia hanya bisa mencukupi kebutuhan transport dan makan sehari-hari saja.
Alhasil, tidak ada uang tersisa untuknya merenovasi rumah yang ditinggalinya bersama dengan kedua adiknya.
Baca Juga: Kisah Pilu Seorang Penjaga Sekolah di Karawang yang Selama 14 Tahun Tinggal di Ruang Guru Tanpa Alas
"Rumah ini bangunan tua dan dihuni bertiga, saya, adik saya (Sunarya dan Wanda). Nah waktu itu pernah dapat bantuan dari Yayasan Gafatar di tahun 2007 karena rumahnya mau roboh. Tapi renovasi sekadarnya karena lokasi yang seperti ini juga," kata Kudus.
Saat itu, rumahnya yang hanya terdiri dari satu petak kamar berukuran 5x3 meter itu masih dialiri listrik dari tetangga.
Ia hanya cukup membayar iuran sebesar Rp 15 hingga 20 ribu sebulan untuk pasokan listrik tersebut.
Namun kemudian setelah ia berhenti bekerja sebagai cleaning service, listrik di rumahnya pun mulai diputus karena tidak ada yang mampu membayar.
Baca Juga: Baru Saja Lahirkan Anak, Tasya Kamila Tanggapi Kisah Pilu Baby Ryu
Kedua adiknya yang bekerja sebagai penjaga counter dan kerja lain hanya mampu menghidupi dirinya sendiri.
Sementara, Kudus yang semakin hari digerogoti penyakit asma yang turun temurun ditambah dengan TBC hanya bisa bekerja yang tidak terlalu berat.
"Kerja bisa sih cuma enggak berat. Untuk makan sehari-hari saya mulung barang bekas aja sama ngamen," ucapnya.
Setiap harinya, Kudus akan pergi mengamen sembari mencari botol-botol bekas.
Kegiatan ini rutin ia kerjakan mulai pagi hari hingga sore kalau kondisinya sehat.
Namun bila tidak, ia biasanya akan segera pulang di tengah hari untuk memulihkan kondisinya.
Oleh karena itu selagi bisa makan saja sudah menjadi hal yang cukup bagi Kudus.
Kondisi Rumah
Seperti yang dikutip Grid.ID dari Kompas.com, kondisi rumah Kudus saat ditelusuri pada Sabtu (02/11/2019) terlihat gelap.
Hanya ada sumber cahaya dari pintu dan jendela.
Ruangan kamar yang hanya sepetak diisi dengan 2 susun rak lemari pakaian plastik dan satu kasur yang sudah robek.
Tembok yang berwarna dasar kuning sudah terlihat berlumut di beberapa sudut.
Langit-langit sebagian rumah terlihat sudah bolong dan bahkan ada beberapa bagian yang tidak tertutup triplek sehingga langsung menghadap ke genteng.
"Kalau Bapak di sini datang saat hujan, ya di sudut ada air-air rembesan. Biasa juga kalau deres sih genang air, Pak," ungkap Kudus kepada tim Kompas.com.
Tidak ada kamar mandi juga di dalam rumah Kudus yang teramat sederhana itu.
Sehingga ketika Kudus tak kuat menahan Buang Air Kecil (BAK) sampai ke WC Umum, ia akan BAK di depan rumahnya.
Oleh sebab itu, sebelum memasuki area rumahnya, tercium bau pesing yang sangat menyengat.
*Tidak Harap Belas Kasihan*
Meski hidup serba terbatas, tapi Kudus tidak mengharapkan belas kasihan dari orang lain.
Bahkan ketika ada tetangga yang memberikan makanan, ia selalu menolaknya dengan alasan masih mampu mencari uang.
"Ibaratnya saudara serumah juga sudah masing-masing karena sama-sama susah. Kalau ada ya ngebagi, kalau enggak ada ya tidak. Makanya untuk makan urusan sendiri-sendiri," ungkapnya.
Sementara itu, Ketua RT setempat pun mengatakan untuk bantuan dari warga sekitar sudah tidak ada.
"Dulu warga di sini bantu listrik, cuma semenjak dia (Kudus) enggak kerja ya sudah enggak lagi. Bantuan makan dari tetangga juga ditolak sama dia. Kudus ini enggak mau dikasihani," ucap Ketua RT setempat
Kudus pun menjadi sudah terbiasa hidup 10 tahun tanpa aliran listrik karena tidak pernah mendapatkan bantuan apa pun kecuali sembako rutin dari pemerintah.
Itu pun hanya sebatas beras 5 kilogram dan sembako lainnya yang pada akhirnya dijualnya lagi karena tidak memiliki alat masak.
"Setiap dapat saya jual lagi. Uangnya buat beli lauk pauk aja setiap hari. Karena di rumah juga enggak ada apa-apa," tutur Kudus.
Mulung Demi Sambung Hidup
Keadaan yang dialaminya sekarang tidak menjadikan Kudus menjadi pribadi yang berpangku tangan.
Ia bertekad selama masih bisa bekerja dia tidak akan mengemis belas kasihan orang lain.
"Saya enggak ngemis Pak, paling ya ngamen kalau ada bantuan ya saya terima. Pokoknya tidak mengemis," ucap Kudus.
Selain mengamen, Kudus juga sembari mulung botol-botol plastik bekas yang akan dijualnya ke pengepul.
"Biasa dapat Rp 5-10 ribu dari kumpulin botol ini, diberikan ke pengepul. Atau pemulung datang kasih uang ke saya, ya cukup buat makan," ucap Kudus.
Uang dari botol-botol plastik itu lah yang digunakan Kudus agar bisa menyambung hidup untuk membeli makan dan bayar fasilitas umum yang digunkaannya untuk mencuci pakaian, mandi hingga buang air besar.
"Kalau ke WA ya WC umum bayar Rp 2 ribu, itu sekalian semuanya. kKdang juga enggak bayar orang juga sudah paham," pungkas Kudus.
(*)
Sering Lakukan Sesi Curhat dengan Betrand Peto, Sarwendah: Harus Cerita Biar Bunda Tahu
Source | : | Kompas.com,Tribun Jakarta |
Penulis | : | Arif Budhi Suryanto |
Editor | : | Deshinta Nindya A |