Anjuran “yang mampu membantu yang lumpuh” menjadi amat riskan di masa ini.
Sebab, istilah mampu pun tidak bisa dianggap seperti donasi berwujud sinterklas, mengingat sinterklas hanya tampil setahun sekali.
Tindakan-tindakan karitatif tidak bisa dijadikan tulang punggung pengentasan kemiskinan serempak seperti saat ini.
Siapa yang bisa disebut golongan mampu? Yang punya pabrik? Yang punya kantor? Yang punya mobil?
Bukankah mereka juga orang-orang yang masih terlibat hutang miliaran, bahkan masih dipaksa mempekerjakan karyawan yang katanya bekerja dari rumah, mengenakan daster sambil menyuapi anak di depan laptop? Seperti yang saya singgung sebelumnya, kesehatan jiwa pun dipertaruhkan.
Saat sembako dibagi dan sinterklas mondar mandir menurunkan logistik, beberapa pelaku industri tanpa kita sadari menikmati iklan tanpa harus bayar, yang biasanya merek-merek itu ditutup dan dibuat kabur saat tayang di televisi.
Apabila di negara maju ‘gelombang kedua’ Covid-19 adalah kembalinya serangan virus berwajah mutasi, maka di negeri ini gelombang susulan adalah dampak miskinnya tabungan.
Dari tabungan kesehatan hingga tabungan keuangan.
Yang apabila antisipasinya salah, perencanaannya tak terarah, belum lagi koordinasinya lemah, maka semua rakyat akan ketiban susah.
(*)
Source | : | Kompas.com,Covid19.go.id |
Penulis | : | Devi Agustiana |
Editor | : | Okki Margaretha |