Laporan Wartawan Grid.ID, Novia Tri Astuti
Grid.ID - Baru-baru ini pengesahan Undang-undang Omnibus Law Cipata Kerja tengah menyedot perhatian publik.
Masih menjadi pro dan kontra, Kementerian Keuangan sebut RUU Cipta Kerja dapat menjadi langkah kemajuan.
Beberkan skema Omnibus Law dalam Undang-undang Cipta Kerja, Menkeu sebut sistem birokrasi ini akan lebih simpel dan dapat membuka banyak lapangan kerja di Tanah Air.
Melansir informasi dari TribunBisnis.com pada Selasa (6/10/2020), Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara menyampaikan bahwa Omnibus Law akan menjadi jawaban atas belum maksimalnya pembukaan lapangan pekerjaan selama ini.
"Kita mengharapkan dengan Omnibus Law Cipta kerja ini maka dunia usaha akan bergerak dan penciptaan lapangan kerja akan lebih banyak. Ini menjadi PR (pekerjaan rumah) kita semua," ujarnya dalam acara virtual, Selasa (6/10/2020).
Suahasil selaku Wakil Menkeu juga terus mencari mencari lebih lanjut ke bidang-bidang simplifikasi yang perlu pemerintah lakukan.
"Terbaru adalah kami sedang membuat apa yang disebut dengan ekosistem logistik nasional. Itu simpelnya adalah menyatukan berbagai macam platform yang sekarang berbeda-beda untuk kegiatan ekspor impor," katanya.
Jadi, dia menambahkan, saat ini untuk kegiatan ekspor impor itu kalau melihat dari hulu sampai dengan hilir itu platformnya beda-beda.
"Misalkan kita mau melakukan ekspor itu ada platform dari gudang, tracking, clearance-nya. Lalu, administrasi per pelabuhan, nanti ini keseluruhan platform kita taruh di dalam satu sistem," pungkasnya.
Baca Juga: Sudah Resmi, RUU Cipta Kerja Sekarang Jadi Undang-undang, 'Mimpi Buruk!'
Sementara itu melansir informasi lebih lanjut dari Kompas.com, gelombang penolakan Omnibus Law Undang-undang Cipta Kerja justeru semakin lantang disuarakan.
Sebab, RUU Cipta Kerja dinilai akan membuka penderitaan masyarakat Indonesia lebih dalam.
RUU Cipta kerja justru ditolak masyarakat lantaran dinilai merugikan banyak pihak.
Baca Juga: RI Rayakan HUT Kemerdekaan yang ke 75, Rocky Gerung Puas Tertawa: Dirgahayulah Buzzer!!
Di antara mereka yang terdampak yakni elemen buruh, petani, nelayan, dan lingkungan hidup, tak terkecuali pekerja kerah putih atau kantoran.
Selain itu, RUU Cipta Kerja, diyakini menjadi ancaman pekerja yang tertuang dalam BAB IV.
Sebab, bab tersebut membahas tentang mengubah, menghapus, atau menetapkan pengaturan baru atas beberapa ketentuan yang diatur dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, dan UU Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.
Baca Juga: Dukung RUU Cipta Kerja, Gritte Agatha Kena Hujat Netizen
Berdasarkan catatan Kompas.com, inilah empat pasal yang dinilai akan mengancam para pekerja apabila RUU Cipta Kerja disahkan.
Pertama yakni pemotongan waktu istirahat bagi para buruh atau pekerja.
Ya, mengenai waktu istirahat, RUU Cipta Kerja akan menghapus libur mingguan selama dua hari untuk lima hari kerja.
Pada Pasal 79 Ayat (2) poin b RUU itu disebutkan bahwa istirahat mingguan adalah satu hari untuk enam hari kerja dalam satu minggu.
RUU ini juga menghapus pula cuti panjang dua bulan per enam tahun.
Adapun pengaturan mengenai cuti panjang dalam RUU Cipta Kerja termaktub dalam Pasal 79 ayat (5).
Baca Juga: Pulang ke Rumah Lagi, Roy Kiyoshi Minta Dibuatkan Semur Jengkol Spesial
Cuti panjang disebut akan diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
Selain libur dan jam istirahat karyawan yang hilang, upah pekerja akan dibayarkan dalam satuan waktu dan satuan hasil.
Ya, tak sedikit yang menganggap bahwa skema pengupahan ini akan menjadi dasar bagi perusahaan untuk memberlakukan perhitungan upah per jam.
Lalu, Pasal 88 C, (1) Gubernur menetapkan upah minimum sebagai jaring pengaman. (2) Upah minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan upah minimum provinsi.
Pada poin ini, banyak pihak khawatir, pemerintah tengah berupaya menghilangkan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK), termasuk upah minimum sektoral.
Selanjutnya, RUU Cipta Kerja juga membuat karyawan rentan terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
RUU Cipta Kerja mengubah pula ketentuan jangka waktu untuk perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) atau pekerja kontrak.
Melalui Pasal 56 Ayat (3), RUU Cipta Kerja mengatur bahwa jangka waktu atau selesainya suatu pekerjaan tertentu ditentukan berdasarkan kesepakatan para pihak.
RUU Cipta Kerja menghapuskan ketentuan Pasal 59 UU Ketenagakerjaan yang mengatur pembatasan jenis pekerjaan dan jangka waktu yang bisa diikat dengan kontrak kerja.
Ketentuan mengenai perjanjian kerja PKWT ini dapat berakhir saat pekerjaan selesai juga membuat pekerja rentan di-PHK karena pengusaha dapat menentukan sepihak pekerjaan berakhir.
Dan yang terakhir, RUU Cipta Kerja akan menggantung status pekerja sebagai karyawan kontrak seumur hidup.
RUU Cipta Kerja juga mengubah ketentuan Pasal 61 yang salah satunya mengatur bahwa perjanjian kerja berakhir pada saat pekerjaan selesai. Klausul ini sebelumnya tidak dimuat dalam UU Ketenagakerjaan.
RUU Cipta Kerja, lewat Pasal 61 A, menambahkan ketentuan pengusaha wajib memberikan kompensasi kepada pekerja yang hubungan kerjanya berakhir karena berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja dan selesainya pekerjaan.
(*)
Innalillahi, Raffi Ahmad Tumbang saat Ramadhan, Bagaimana Kondisi Suami Nagita Slavina sekarang?
Source | : | tribunnews,KOMPAS.com |
Penulis | : | Novia |
Editor | : | Deshinta Nindya A |