Laporan Wartawan Grid.ID, Rissa Indrasty
Grid.ID - Artis Steve Emmanuel sempat membuat publik geger.
Pasalnya, publik figur tersebut sempat terancam hukuman mati akibat kasus penyalahgunaan narkoba.
Tak tanggung-tanggung, barang bukti obat-obatan terlarang yang ditemukan saat dirinya tertangkap jumlahnya cukup banyak, yaitu 92,04 gram.
Setelah terciduk membawa kokain seberat 92,04 gram di sebuah kondominum di kawasan Mampang Prapatan, Jakarta, (21/12/2018), Steve Emmanuel terus menjalani persidangan.
Namun, belakangan Steve tidak dapat menghadiri persidangan dengan alasan sakit.
Steve sendiri terancam hukuman mati akibat perbuatannya membawa kokain dari Belanda.
Dia didakwa pasal 112 ayat 2 jo pasal 114 ayat 2 UU tentang Narkotika dengan ancaman hukuman penjara minimal lima tahun dan maksimal seumur hidup atau hukuman mati oleh jaksa penuntut umum.
Ya, meski masih menjadi kontroversi, hukuman mati sampai sekarang masih diberlakukan di beberapa negara.
Beruntung, Steve Emmanuel lolos dari ancaman hukuman mati.
Dikutip Grid.ID melalui Kompas.com, Senin (27/9/2021), setelah melalui rangkaian persidangan, Jaksa penuntut umum (JPU) menuntut Steve 13 tahun penjara dan denda sebesar Rp 1 miliar, subsider enam bulan penjara.
Tuntutan tersebut merupakan hasil dari pandangan jaksa terhadap dakwaan Pasal 112 ayat (2) Undang Undang RI Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
"Menyatakan terdakwa Cephas Emmanuel alias Steve terbukti bersalah melakukan perbuatan tindak pidana tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan 1 bukan tanaman berbahaya melebihi 5 (lima) gram sebagaimana diatur dan diancam dalam Dakwaan Subsider," ucap Renaldy selaku Jaksa Penuntut Umum di Pengadilan Negeri Jakarta Barat, Slipi, Senin (17/6/2019).
Dengan tuntutan 13 tahun penjara, Steve Emmanuel pun lolos dari ancaman hukuman mati yang membayangi Steve sebelumnya. Sebab, jaksa sendiri menilai bahwa dakwaan primer yang disangkaan kepada Steve gugur lantaran tak terbukti seperti yang tertera dalam salinan tuntutan.
Hingga pada sidang putusan, akhirnya Steve Emmanuel divonis 9 tahun penjara dan denda Rp1 Milliar atas kasus penyalahgunaan narkoba.
Putusan itu dibacakan oleh hakim ketua Erwin Djong di Pengadilan Negeri Jakarta Barat, Slipi, Selasa (16/7/2019) sore.
"Dengan ini majelis hakim menyatakan bahwa terdakwa bernama Chevas Emmanuel alias Steve terbukti memiliki narkotika golongan I di atas lima gram, dengan semua pertimbangan yang ada, kami memutuskan menjatuhkan vonis pidana sembilan tahun penjara dan denda Rp 1 miliar pada Steve," ucap Erwin Djong seraya mengetuk palu tanda vonis dijatuhkan.
Steve dinyatakan terbukti oleh majelis hakim telah memiliki narkotika golongan I, yakni kokain dengan berat di atas 5 gram.
Vonis tersebut lebih ringan empat tahun dari tuntutan jaksa penuntut umum, yakni 13 tahun.
Berbeda dengan nasib Steve Emmanuel, Freddy Budiman justru tak bisa lolos dari eksekusi hukuman mati.
Freddy Budiman dikenal sebagai gembong narkoba yang telah dieksekusi mati di Lembaga Pemasyarakatan Nukambangan, Cilacap, Jawa Tengah pada 29 Juli 2016.
Dia divonis mati oleh Pengadilan Negeri Jakarta Barat pada 15 Juli 2013 atas kasus kepemilikan 1,4 juta pil ekstasi yang diselundupkan dari China pada Mei 2012.
Sebelumnya, Freddy pernah divonis 3 tahun 4 bulan setelah tertangkap memiliki 500 gram sabu-sabu pada 2009.
Freddy kembali berurusan dengan polisi dan divonis 18 tahun penjara setelah terbukti memiliki 300 gram heroin, 27 gram sabu, dan 450 gram bahan pembuat ekstasi.
Tak cukup sampai di situ. Freddy si terpidana mati terciduk dan mengakui masih mengendalikan bisnis narkoba dari balik jeruji besi.
Freddy mengatur pembuatan narkoba jenis baru di mana pabriknya kemudian diketahui terletak di sebuah ruko di Cengkareng, Jakarta Barat, pada April 2015.
Freddy bahkan juga mengendalikan peredaran narkoba di berbagai lapas, merekrut anak buahnya yang juga narapidana seperti dirinya.
Saat diwawancarai Kompas TV pada 15 April 2015, Freddy membeberkan caranya berkomunikasi dengan anak buahnya dari dalam penjara.
Menurut Freddy, ia menggunakan fasilitas warung telepon (wartel) yang ada di LP Nusakambangan tempatnya mendekam kala itu.
"Kalau di lapas itu ada wartelsus, wartel khusus pemasyarakatan. Itu saya pakai untuk komunikasi. Jadi, selama ini saya berbincang itu lewat wartel di sana," kata Freddy.
Dijelaskan Freddy, ia dipungut biaya untuk menggunakan fasilitas telekomunikasi di lapas itu.
"(pakai wartel) bayar, tergantung dari penggunaan kita ya," tambahnya.
Freddy dapat menggunakan wartel di lapas selama yang ia inginkan.
"(tidak ada batasan waktu). Bebas. Cuma bukanya di pagi hari, jam 09.00-11.00 WIB," paparnya.
Berkat fasilitas tersebut, Freddy mengaku dapat berkomunikasi dengan timnya di berbagai lapas seperti di LP Cipinang dan Salemba. Dia bahkan bisa menghubungi jaringannya di Belanda.
"Saya komunikasi seperlunya saja dengan pekerja saya, sama yang di Belanda aja," ucap Freddy.
"(Hubungi anak buah di lapas) pakai wartel. Bisa kok," lanjutnya.
Freddy lantas menceritakan awal mula ia memutuskan untuk masih terlibat di bisnis narkoba meski telah divonis mati.
Dia mengungkapkan, bisnis tersebut baru berjalan beberapa bulan dari total 1,5 tahun masa tahanan menunggu eksekusi mati, terhitung sejak divonis pada 2013.
Freddy mengaku mendapat penawaran dari jaringan internasionalnya untuk membuat dan mengedarkan narkoba jenis baru.
"Kebetulan saya kan sudah diisolasi kurang lebih 1,5 tahun, jadi (bisnis narkoba) baru berjalan beberapa bulan ini dan ada penawaran dari mereka (sindikat). Istilahnya ya sejenis narkoba baru, ekstasi. Mungkin (pengedarannya) dari jalur baru," beber Freddy
Ketika ditanya siapa yang menawarkan, Freddy hanya menjelaskan bahwa itu datang dari jaringannya.
"Dari jaringan saya ke saya," katanya.
Freddy menjelaskan, jaringannya membutuhkan dirinya untuk mengedarkan narkoba baru lantaran tidak ada orang Indonesia selain dirinya yang bisa mengatur.
"Sebetulnya ini bukan inisiatif pribadi saya, tapi jaringan saya yang menentukan saya. Karena mereka tidak punya orang di Indonesia kecuali kita," urainya.
Freddy kemudian berkilah bahwa hukum di Indonesia terkait penyalahgunaan dan pengedaran narkoba masih terbilang ringan sehingga ia nekad terus melanjutkan bisnis haram tersebut.
"Ya mungkin saya lihat hukum di Indonesia ya, sampai detik ini hukuman mati kalau kita berkelakuan baik bisa terjadi perubahan. Saya 1,5 sampai 2 tahun ini hanya diisolasi, saya terima hukuman itu," ujar Freddy.
Karena masih menunggu waktu pasti eksekusi matinya, Freddy memutuskan menerima penawaran sindikatnya karena butuh uang demi keluarganya.
"Dengan adanya eksekusi (mati) gelombang 1, gelombang 2 membuat saya ya mungkin ketakutan. Tapi bukan takut pada eksekusinya," ujar Freddy.
"Saya punya keluarga, punya kehidupan, punya anak yang saya harus penuhi. (Jadi) penawaran dari jaringan saya terima saja," sambungnya.
Selain itu, Freddy mengaku tertarik terlibat lagi karena mengetahui ia akan mengedarkan narkoba baru.
"Karena narkoba baru ya. Terus melalui sistem pengirimannya simpel ya, pakai kertas," katanya.
(*)
Berjuang Halalin Pacar di Jepang dan Sudah Dilamar, Pria Wonogiri Berujung Ditinggal Nikah: Tak Kusangka
Source | : | Kompas.com,intisari |
Penulis | : | Rissa Indrasty |
Editor | : | Nurul Nareswari |