Laporan Wartawan Grid.ID, Rissa Indrasty
Grid.ID - Hukuman mati menjadi hal yang cukup kontroversi terutama di Indonesia.
Namun, bukan berarti hal tersebut tidak pernah terjadi sama sekali.
Slaah satu terpidana mati yaitu Bobby (nama disamarkan), harus menjalani hukuman mati usai merampok dan membuat orang tewas.
Dikutip Grid.ID melalui Intisari Online, Senin (27/9/2021), seorang Jaksa membagikan pengalaman ketika dirinya terlibat proses eksekusi mati Bobby.
Pagi itu, awal Januari 1980 sekitar pukul 04.30 WIB, hari masih gelap dan sepi.
Saat sebagian besar penduduk Kota Pamekasan masih lelap, kesibukan yang menegangkan sudah tampak di penjara yang terdapat di sana.
Karena hari itu merupakan hari terakhir bagi terpidana mati Bobby (nama samaran).
Pengadilan telah menjatuhkan vonis hukuman mati atas sederet kejahatan yang dilakukannya
Sebagai jaksa, saya tidak pernah membayangkan diperintah untuk memberitahukan dan menyaksikan hukuman mati atas diri terhukum
Usai pemberitahuan Bobby tetap dihukum mati, Bobby digiring lagi ke sel yang lain. Tempat menunggu eksekusi ini tidak ada keistimewaannya.
Yang penting lampu terang, bisa dikontrol dan diawasi dari jauh serta mendapatkan pengawasan lebih. Dia juga dijaga jangan sampai bunuh diri.
Setelah selesai pemberitahuan, saya menunggu di Surabaya, untuk hadir lagi saat eksekusi.
Waktu itu justru menjadi saat yang menegangkan bagi saya, karena ada kemungkinan dia melarikan diri atau ada peraturan baru. Saya sampai ketok-ketoken (terbayang-bayang).
Menurut petugas penjara, selama masa penantian eksekusi dia tidak menunjukkan penyesalan dan menganggap hukuman mati adalah biasa dan tidak menakutkan.
Baca Juga: Gempar! Artis Tampan Ini Bisa Lolos dari Hukuman Mati, Begini Ceritanya...
Hal ini dia perlihatkan dengan cara berbuat sewajar mungkin. Kalau tidur mendengkur. Dia malah mengatakan pada petugas penjara, "lihat saja nanti, akan terjadi hal-hal yang luar biasa."
Menurut penuturan salah seorang pengawal yang menceriterakan pada saya, saat pelaksanaan hukuman mati Bobby dijemput di sel sebelum pukul 04.00 WIB.
Dia mengenakan hem lengan panjang dan bersandal jepit. Pada waktu keluar, tangannya sudah diborgol. Saat itu lampu neon penjara masih menyala terang.
Terhukum meninggalkan blok melalui pintu yang berjarak 15 m dari selnya dengan diiringi petugas penjara dan petugas keamanan.
Lebar pintu 3 m dan berjeruji, tetapi yang dibuka hanya setengahnya. Dia digiring menuju pintu gerbang luar. Pintu inilah yang menjadi saksi saat-saat terakhir kehidupan Bobby.
Dia tampak tenang, namun susah menduga perasaannya. Beberapa langkah di luar pintu dia berhenti dan ingin berpidato. Permintaan ini ditolak. Dia meminta sebatang rokok.
Salah seorang petugas memberinya dan sekaligus menyulutkan apinya. Inilah kenikmatan terakhir yang masih diizinkan.
Sambil terus merokok, petugas mengikat kedua ibu jarinya menjadi satu. Sebuah tali juga diikatkan pada kedua lengannya. Tali ini dililitkan pula beberapa lapis pada lehemya.
Semua berjalan cepat. Petugas mengikuti proses ini dengan penuh kewaspadaan. Tak jauh dari tempat itu sebuah mobil station-wagon membawanya ke tempat eksekusi di suatu tempat dekat penjara. (Seperti diceritakan pada Yanto dan Gede).
Bobby dieksekusi mati dengan tembakan yang diarahkan ke jantungnya.
Jika Bobby bisa tampak tenang saat dieksekusi mati, proses eksekusi mati di abad 20 justru membuat bulu kuduk berdiri.
Dikutip Grid.ID melalui Kompas.com, Senin (27/9/2021), semakin kejam, semakin menyiksa. Semakin kesulitan menuju ajal, semakin menggembirakan.
Begitulah nuansa eksekusi mati yang banyak dilakukan di awal abad 20. Termasuk metode immurement, yang seolah membiarkan si pesakitan "menikmati" proses menuju ajal.
Dalam metode ini, terpidana mati dimasukan ke ruangan kecil yang hanya cukup untuk tubuhnya.
Mereka kemudian ditutup--dan dilupakan begitu saja.
Ini membuat terpidana mati akan tewas perlahan. Dehidrasi, kelaparan, dan kehabisan nafas jadi penyebab utamanya.
Konon, dalam sejarahnya, pernah ada seorang wanita di Mongolia yang disiksa memakai metode ini.
Bukan dikurung dalam ruangan kecil berdinding tembok seperti yang dipraktikan pada zaman Romawi Kuno, tapi dimasukan dalam kotak kayu yang hanya menyisakan lubang selebar leher.
Wanita itu dibiarkan mati kelaparan dan dehidrasi di bawah terik matahari. Tubuhnya akan mengalami gejolak luar biasa. Kering kerontang, tak bisa lagi bertahan.
Kematian, cepat atau lambat, pasti akan datang. Diiringi dengan penderitaan tiada tara yang tak tertahankan.
Immurement memang dikenal amat menyiksa. Selain memakai tembok cor dan kotak kayu, ada pula yang memakai peti mati.
Bentuk eksekusi ini berbeda dari dikubur hidup-hidup, di mana korban biasanya meninggal sesak napas.
Immurement jauh lebih kejam dan mencekam.
Metode ini pernah dipakai hukuman untuk perempuan di Kekaisaran Romawi yang melanggar sumpah kesuciannya.
Immurement juga ditetapkan sebagai hukuman bagi perampok di Persia, bahkan hingga awal abad ke-20.
Ada juga beberapa bukti tentang dipakainya metode ini sebagai bukti praktik kurungan tipe peti mati Mongolia.
Meski metode eksekusi mati ini sudah dihapuskan, tapi sejarah kekejamannya yang gila tak bisa begitu saja dilupakan.
Sisa-sisa kerangka yang kemungkinan besar adalah korban eksekusi ini, dari waktu ke waktu, ditemukan di balik dinding dan di ruang tersembunyi di beberapa wilayah.
Inilah bukti dari kekejaman masa lalu, yang menunjukkan bahwa generasi terdahulu punya cara sedemikian primitif sekaligus menyakitkan untuk menghakimi sesamanya.
(*)
Viral Peserta Indonesian Idol Punya Suara Unik Mirip Optimus Prime, Anang Hermansyah Langsung Ramal Begini
Source | : | Kompas.com,intisari |
Penulis | : | Rissa Indrasty |
Editor | : | Nurul Nareswari |