Hal itu membuat dirinya bertanya-tanya apakah rudal dan bahan peledak yang digunakan Israel berbeda dari serangan sebelum-sebelumnya.
Meski menghadapi kengerian setiap harinya, al-Maghari tetap menjalankan pekerjaannya seperti biasa.
Ia merasa yakin, anggota keluarga harus memiliki hak untuk mengucapkan selamat tinggal kepada orang yang mereka cintai.
"Misi saya memberi saya tantangan besar," ujarnya.
"(Para) orang tua di Gaza menjadi gila karena kesedihan mereka. Berteriak dan menangis untuk anak mereka."
"Jadi saya mencoba untuk berbelas kasih semampu saya dan berusaha membuat jenazah terbungkus rapi, sehingga mereka (keluarga korban) bisa mengucapkan selamat tinggal," tutur dia.
Al-Maghari berusaha semaksimal mungkin membungkus jenazah korban serangan Israel, layaknya orang meninggal pada umumnya.
Ia akan menyeka darah dan debu, kemudian menuliskan nama korban di kain kafannya.
"Momen perpisahan terakhir ini selalu memilukan dan kejam."
"Kadang-kadang, saya menerima jenazah yang tak memiliki ciri-ciri karena hancur terkena ledakan."
"Di sini, saya membungkuskan kain kafan hingga tertutup agar anggota keluarga tidak mengingat orang yang mereka cintai dalam keadaan yang begitu gamblang," urai al-Maghari.
Seringkali al-Maghari membungkus jenazah di dalam ambulans yang tiba di rumah sakit karena terlalu sulit untuk membawa potongan-potongan tubuh tersebut ke ruang kerjanya untuk dicuci dan dikafani.