Al-Maghari mengatakan, jumlah jenazah yang tiba di RS Syuhada Al-Aqsa bertambah dua kali lipat setelah adanya pengungsian massal warga Kota Gaza ke kota-kota di Jalur Gaza selatan, yang meningkat setelah 13 Oktober.
“Setiap hari, perempuan, laki-laki, dan anak-anak, semuanya warga sipil, terbunuh dalam serangan Israel terhadap rumah atau tempat umum mereka atau saat bepergian ke selatan,” katanya.
Al-Maghari percaya mendiskusikan dampak pekerjaan ini terhadap kesehatan mentalnya adalah sebuah “kemewahan”, mengingat kondisi bencana yang dialami sektor kesehatan.
“Menghadapi banyaknya jenazah yang robek dan terbakar yang sebagian besar adalah anak-anak, memerlukan ketangguhan psikologis tingkat tinggi yang tidak dimiliki setiap manusia,” ujarnya.
Saya menghadapi ujian nyata setiap hari. Tidak ada waktu untuk menangis atau putus asa pada saat yang sama, tetapi kita hanyalah manusia," tegas al-Maghari.
Pekerjaan Al-Maghari dalam kondisi berbahaya ini tidak memberinya kesempatan untuk memikirkan keluarganya, yang tinggal di kamp pengungsi Nuseirat di pusat Kota Gaza.
“Seperti semua orang tua, saya mengkhawatirkan keluarga saya, tetapi saya hampir tidak bisa berkomunikasi dengan mereka atau merasa tenang,” kata ayah lima anak ini.
“Ketika saya kembali ke rumah, saya tidak dapat berbicara dengan keluarga saya sama sekali,” tambahnya.
“Yang saya minta dari mereka hanyalah tinggalkan saya sendiri, meski mereka merindukan saya. Itu di luar kendali saya.”
Ketika pemboman dan serangan darat Israel terus berlanjut, dia tahu ada kemungkinan serangan Israel dapat terjadi di wilayah yang lebih dekat dengan wilayahnya.
“Saya sering membayangkan anak-anak saya bisa menjadi korban yang saya kafani kapan saja,” kata al-Maghari.
“Semua orang menjadi sasaran, tanpa kecuali.”
(*)
Artikel ini telah tayang di Tribuntrends.com dengan judul 'Tak Ada Waktu Menangis' Curhat Pilu Abu Saher, Setiap Hari Kafani 100 Jasad Korban Gempuran Israel