Grid.ID - Pilu hati Abu Saher al-Maghari, pria Palestina yang bertugas sebagai pengurus jenazah di RS Syuhada Al-Aqsa di Jalur Gaza.
Bukan tanpa alasan, setiap harinya, Abu Saher harus mengkafani setidaknya 100 jenazah semenjak Israel menggempur Palestina.
Dikutip dari AlJazeera, al-Maghari yang berusia 53 tahun, sudah 15 tahun terakhir membungkus jenazah menggunakan kain kafan.
Tetapi, sejak serangan Israel di Gaza dimulai pada 7 Oktober 2023 lalu, al-Maghari menyaksikan gelombang besar jenazah berdatangan ke rumah sakitnya.
Bahkan, banyak dari jenazah tersebut dalam keadaan tidak utuh.
Saat ditanya soal jenazah yang dilihatnya, al-Maghari menangis.
"Saya belum pernah mengalami masa sulit seperti ini dalam hidup saya," ujar al-Maghari sambil menyeka air mata.
"Selama bertahun-tahun saya bekerja, saya selalu membungkus 30 hingga maksimal 50 jenazah yang mati secara alami, setiap hari."
"Dalam kasus eskalasi militer sebelumnya, jumlahnya mungkin mencapai sekitar 60."
Kini, ia membungkus sekitar 100 jenazah, terkadang jumlahnya bisa bertambah hingga 200, tergantung pada intensitas pemboman dan wilayah yang menjadi sasaran serangan udara Israel.
"Sebagian besar jenazah tiba di rumah sakit dalam kondisi sangat buruk," kata dia.
"Anggota tubuh robek, memar parah, dan luka dalam di sekujur tubuh."
"Saya belum pernah mengalami hal seperti ini sebelumnya," imbuh dia.
al-Maghari: Hatiku Hancur Melihat Jenazah Anak-anak
Jenazah yang paling banyak diterima al-Maghari adalah anak-anak dan perempuan.
"Yang paling menyedihkan bagi saya adalah saat membungkus (jenazah) anak-anak," ucap al-Maghari.
"Hati saya hancur saat saya mengumpulkan anggota badan (jenazah) anak-anak yang terkoyak dan memasukkannya ke dalam satu kain kafan. Apa yang telah mereka lakukan?" imbuh dia.
Al-Maghari yang terkadang bekerja dengan asistennya, membungkus jenazah yang tiba di rumah sakit.
Baca Juga: 5 Fakta Film Inshaallah A Boy, Jadi Pembuka JWCW 2023 dan Dibintangi Artis Palestina
Ia memulai kegiatannya sekitar pukul enam pagi hingga delapan malam, tanpa henti.
"Saya memulai hari saya dengan membungkus orang mati dan terbunuh, mulai jam enam pagi sampai jam delapan malam tanpa henti," kata dia kepada AlJazeera setelah mencuri waktu sejenak untuk salat Asar.
Beberapa jenazah yang tiba sudah dalam kondisi membusuk dengan tulang terlihat, setelah berhari-hari tergeletak di bawah reruntuhan bangunan yang dibom.
Selain itu, ada pula jenazah yang tiba dalam keadaan tercabik-cabik, beberapa terbakar, hingga tak bisa dikenali lagi, kisah al-Maghari.
Luka-luka yang ada di para jenazah sangat asing bagi al-Maghari.
Hal itu membuat dirinya bertanya-tanya apakah rudal dan bahan peledak yang digunakan Israel berbeda dari serangan sebelum-sebelumnya.
Meski menghadapi kengerian setiap harinya, al-Maghari tetap menjalankan pekerjaannya seperti biasa.
Ia merasa yakin, anggota keluarga harus memiliki hak untuk mengucapkan selamat tinggal kepada orang yang mereka cintai.
"Misi saya memberi saya tantangan besar," ujarnya.
"(Para) orang tua di Gaza menjadi gila karena kesedihan mereka. Berteriak dan menangis untuk anak mereka."
"Jadi saya mencoba untuk berbelas kasih semampu saya dan berusaha membuat jenazah terbungkus rapi, sehingga mereka (keluarga korban) bisa mengucapkan selamat tinggal," tutur dia.
Al-Maghari berusaha semaksimal mungkin membungkus jenazah korban serangan Israel, layaknya orang meninggal pada umumnya.
Ia akan menyeka darah dan debu, kemudian menuliskan nama korban di kain kafannya.
"Momen perpisahan terakhir ini selalu memilukan dan kejam."
"Kadang-kadang, saya menerima jenazah yang tak memiliki ciri-ciri karena hancur terkena ledakan."
"Di sini, saya membungkuskan kain kafan hingga tertutup agar anggota keluarga tidak mengingat orang yang mereka cintai dalam keadaan yang begitu gamblang," urai al-Maghari.
Seringkali al-Maghari membungkus jenazah di dalam ambulans yang tiba di rumah sakit karena terlalu sulit untuk membawa potongan-potongan tubuh tersebut ke ruang kerjanya untuk dicuci dan dikafani.
Al-Maghari mengatakan, jumlah jenazah yang tiba di RS Syuhada Al-Aqsa bertambah dua kali lipat setelah adanya pengungsian massal warga Kota Gaza ke kota-kota di Jalur Gaza selatan, yang meningkat setelah 13 Oktober.
“Setiap hari, perempuan, laki-laki, dan anak-anak, semuanya warga sipil, terbunuh dalam serangan Israel terhadap rumah atau tempat umum mereka atau saat bepergian ke selatan,” katanya.
Al-Maghari percaya mendiskusikan dampak pekerjaan ini terhadap kesehatan mentalnya adalah sebuah “kemewahan”, mengingat kondisi bencana yang dialami sektor kesehatan.
“Menghadapi banyaknya jenazah yang robek dan terbakar yang sebagian besar adalah anak-anak, memerlukan ketangguhan psikologis tingkat tinggi yang tidak dimiliki setiap manusia,” ujarnya.
Saya menghadapi ujian nyata setiap hari. Tidak ada waktu untuk menangis atau putus asa pada saat yang sama, tetapi kita hanyalah manusia," tegas al-Maghari.
Pekerjaan Al-Maghari dalam kondisi berbahaya ini tidak memberinya kesempatan untuk memikirkan keluarganya, yang tinggal di kamp pengungsi Nuseirat di pusat Kota Gaza.
“Seperti semua orang tua, saya mengkhawatirkan keluarga saya, tetapi saya hampir tidak bisa berkomunikasi dengan mereka atau merasa tenang,” kata ayah lima anak ini.
“Ketika saya kembali ke rumah, saya tidak dapat berbicara dengan keluarga saya sama sekali,” tambahnya.
“Yang saya minta dari mereka hanyalah tinggalkan saya sendiri, meski mereka merindukan saya. Itu di luar kendali saya.”
Ketika pemboman dan serangan darat Israel terus berlanjut, dia tahu ada kemungkinan serangan Israel dapat terjadi di wilayah yang lebih dekat dengan wilayahnya.
“Saya sering membayangkan anak-anak saya bisa menjadi korban yang saya kafani kapan saja,” kata al-Maghari.
“Semua orang menjadi sasaran, tanpa kecuali.”
(*)
Artikel ini telah tayang di Tribuntrends.com dengan judul 'Tak Ada Waktu Menangis' Curhat Pilu Abu Saher, Setiap Hari Kafani 100 Jasad Korban Gempuran Israel