Laporan Wartawan Grid.ID, Ahmad Rifai
Grid.ID - "Amerika Serikat bakal mengingat hari ini."
"Ketika menjadi target serangan di Majelis Umum PBB, sebab menggunakan haknya sebagai sebuah negara berdaulat."
"Kami akan mengingat ini saat kami diminta untuk jadi donor terbesar bagi PBB."
"Kami bakalan mengingat ini sewaktu banyak negara memohon, seperti yang sering mereka lakukan, mengharap dana lebih besar dan memakai pengaruh kami demi kepentingan mereka."
Demikian komentar pedas Nikki Haley, Duta Besar Amerika Serikat (AS) untuk PBB.
(Baca juga: Awal Mula Terminator Hidup di Dunia Nyata, Arab Saudi Malah Beri Robot Humanoid Kewarganegaraan )
Terkait kontroversi soal pengakuan sepihak AS, ternyata ada 9 negara yang setuju agar Yerusalem jadi ibukota Israel.
Negara-negara tersebut adalah Honduras, Israel, Guatemala, Kepulauan Marshall, AS, Micronesia, Nauru, Palau, dan togo.
Tidak tanggung-tanggung, salah satu negara, Guatemala, justru juga berencana memindahkan kedutaan dari Tel Aviv menuju Yerusalem.
Kemudian banyak warga dunia terperanjat dan bingung.
"Apa yang membuat negara kecil di Amerika Tengah nekat ambil keputusan seberani ini?"
Kisah Orang Maya di Guatemala
Di masa lalu, Guatemala adalah pusat kerajaan Maya.
Hingga saat ini, warganya mengidentifikasi diri sebagai orang Maya.
Sejak pendudukan bangsa Eropa di abad ke-16, minoritas Spanyol berhasil mengendalikan mayoritas asli penghuni lembah Amerika Tengah.
Memasuki tahun 1900-an, Guatemala berubah jadi danau penuh tumpah darah.
(Baca juga: Sistem Pada Otak Robot Makin Otonom, Benarkah Manusia Akan Jadi Rongsokan di Masa Depan?)
200 ribu Maya diperkirakan terbunuh semenjak tahun 1960 hingga 1996.
Sebagian besar penduduk Guatemala tewas secara teroganisir dan sistematis, terutama selama tahun 1981-1983.
Dikutip wartawan Grid.ID dari The Combat Genocide Association, merdeka sejak 1821, Guatemala selalu jadi sebuah negara termiskin di Benua Amerika.
Aneh, pemerintahannya justru lebih tertarik melayani kepentingan pihak lain dan menindas orang Maya dan Ladino (orang campuran).
(Baca juga: Produksi Robot Pembunuh Tak Dapat Dihentikan, Inikah Akhir dari Peradaban Manusia?)
Di tahun 1944, pemilu bersih pertama kali diselenggarakan di Guatemala.
Hasilnya, seorang guru sekaligus penulis, Juan José Arévalo Bermejo, terpilih jadi presiden.
Di era ini, Guetamala seakan ingin mengangkat derajak kaum miskin.
Kelas atas dan pemilik tanah kebakaran jenggot.
(Baca juga: Pendiri Telegram, Pavel Durov, Sebut Mata Uang Ini Bisa Hancurkan Hegemoni AS dalam Sistem Keuangan Global)
Pusat kesehatan baru dibangun.
Dana untuk pendidikan ditingkatkan.
Arévalo populer di kalangan masyarakat namun dimusuhi pihak gereja dan militer.
Setidaknya, ada 25 usaha kudeta yang dilakukan selama dirinya menjabat sebagai seorang presiden.
(Baca juga: Tuhan Akan Diciptakan oleh Sejumlah Pakar Teknologi, Sang Juru Selamat atau Sedang Memanggil Iblis?)
Di tahun 1950, sang petahana dilarang mengikuti pemilu.
Sebagai gantinya, Menteri Pertahanan Guatemala di era Arévalo, Jacobo Árbenz Guzmán, terpilih sebagai presiden.
Sebuah Undang-Undang (UU), yang disebut Richard H. Immerman sebagai kebijakan paling penting, disahkan pada tahun 1952.
UU yang dimaksud adalah soal reformasi agraria.
Isinya kurang lebih berbunyi, memindahkan tanah yang tidak dibudidayakan ke petani tidak bertanah.
Meski begitu, hanya seperenam populasi yang mengalami dampak dari kebijakan ini.
Populer di dalam negeri, UU ini justru tidak diminati oleh AS.
Dalam suasana Perang Dingin, Guatemala diasosiakan sebagai bagian dari blok Komunis.
Selain itu, United Fruit Company (UFCO), yang bisnisnya sangat menguntungkan, ikut kena imbas atas kebijakan semacam ini.
Makin jadi persoalan, ternyata UFCO adalah perusahaan asal AS.
Pendek cerita, Harry S. Truman memberi lampu hijau berlangsungnya operasi untuk menjatuhkan Árbenz di tahun 1952.
Kebijakan yang sama juga diterapkan di masa pemerintahan Dwight D. Eisenhower.
(Baca juga: Hati-Hati, Unduh Aplikasi Ini, Banyak Warga Dikeluarkan dari Pekerjaannya, Ternyata Ini Alasan Pemerintah)
CIA mempersenjatai, mendanai, dan melatih 480 pasukan yang dipimpin oleh Carlos Castillo Armas.
Oktober 1954, sebuah pemilu diadakan dan semua partai politik dilarang berpartisipasi.
Hasilnya, seorang kandidat menang telak, meraup sebanyak 99 persen suara.
Tahu siapa presiden baru Guatemala waktu itu?
(Baca juga: Hidup Dalam Era Pengawasan Massal, Inilah 5 Aplikasi Smartphone yang Bisa Lindungi Aktivitasmu di Dunia Daring)
Carlos Castillo Armas!
Sebuah aksi penyerbuan dilakukan pada 18 Juni 1954 dan mengintimidasi sejumlah tentara Guatemala.
Kemudian sebuah negosiasi diselenggarakan di San Salvador, dan seorang presiden sudah ditetapkan lebih awal pada 7 Juli jauh sebelum pemilu terselenggara.
(Baca juga: Hanya Karena Soal Video di YouTube, Bila Terus Begini Russia Akan Balas Dendam)
Terjadi banyak pembantaian di Guatemala.
Namun, Periode paling parah tersaji dari tahun 1981 hingga 1983.
Di tahun-tahun tersebut, 5 suku Maya yang berada di pegunungan dimusnahkan.
(Baca juga: Besar Kemungkinan Kamu Punya Alamat IP yang Sama dengan Seorang Teroris atau Pedofil)
Pada 18 Juli 1982, New York Times mengutip ucapan presiden Guatemala saat itu, José Efraín Ríos Montt.
Bunyinya kurang lebih seperti ini.
"Jika kau bersama kami, kau akan kami beri makan."
"Jika tidak, silahkan, kau akan kami bunuh!"
(Baca juga: Mimpi buruk bagi Setiap Warga Negara, Tiongkok Akan Dapat Penjarakan Orang Tak Bersalah Selama Bertahun-Tahun)
Tragedi yang mengkerdilkan martabat manusia membentang puluhan tahun.
Singkat cerita, Guatemala tumbuh menjadi negara yang penuh gejolak.
Rasisme tumbuh subur.
Pembantaian massal terorganisir.
Menjadi hal lumrah bila bertebaran sejumlah pelanggaran HAM baik dalam ranah sosial politik maupun terkait ekonomi sosial budaya.
(Baca juga: iPhone X, Ponsel dengan Teknologi Paling Rentan?)
Kembali dikutip dari The Combat Genocide Association, ada bukti 42,275 pembasmian, termasuk di dalamnya sejumlah pria, wanita, dan bocah-bocah Maya.
Kekejian ini belum termasuk trauma kekerasan dan perkosaan yang dilakukan secara membabi buta.
Di tahun 1994, sebuah perundingan damai antara Unit Revolusi Nasional Guatemala (URNG) dan pemerintah setempat diselenggarakan.
Perundingan yang dipimpin oleh PBB menghasilkan sebuah kesepakan terkait hak orang Maya yang ditandatangani di Oslo, Norwegia, pada Maret 1994.
Selang beberapa waktu, Komisi Klarifikasi Sejarah (CEH) yang disponsori oleh PBB dibentuk untuk menyelidiki genosida yang menimpa orang Maya.
Di tahun 1999, CEH melaporkan temuannya dan menegaskan, "Kekerasan di negara ini diarahkan, pertama dan terutama, terhadap yang terisolasi, yang miskin, yang terpenting, menghancurkan orang Maya."
Dalam laporan ini, selama tahun 1964 hingga 1994, terjadi 626 kasus pembantaian dan menewaskan lebih dari 200 ribu manusia.
(Baca juga: Temuan Arkeolog Turki Bisa Guncang Pondasi Iman, Inikah Alasan Mengapa Sejarah Harus Selalu Ditulis Ulang?)
Udara segar nampaknya mulai terasa bagi pihak yang mengharapkan keadilan.
José Efraín Ríos Montt yang memerintah Guatemala dari tahun 1982 hingga 1983 ditangkap.
Begitu pula Óscar Humberto Mejía Víctores yang memerintah hingga tahun 1986.
(Baca juga: Pernah Dengar Isu Atlet Korea Utara Dieksekusi Karena Hasil Buruk? Begini Fakta Sesungguhnya)
Sayang sekali, lagi-lagi penjahat yang jadi juaranya.
Montt harusnya dihukum atas tindakan genosida.
Namun, sebuah pengadilan nasional yang korup membatalkan putusan tersebut 2 minggu berselang.
Seharunya dia diadili kembali di tahun 2015.
Beda cerita dengan Mejía.
Lebih parah, dia tidak sama sekali masuk dalam daftar yang harus diadili sebab sudah meninggal pada 1 Februari 2016.
Nasib Yerusalem
Majelis Umum PBB menolak aksi sepihak AS akui Yerusalem sebagai ibukota Israel.
Sebanyak 128 negara sepakat mengatakan 'tidak' pada hari kamis (22/12/2017).
Dikutip wartawan Grid.ID dari RT, Juru bicara Kementerian Luar Negeri Israel mencaci putusan ini.
Keputusan yang dilayangakan disebut sebagai, "Upaya untuk memisahkan Yahudi dari tanah Israel," ungkap Emmanuel Nahshon.
(Baca juga: San Holo, Mawar Merah di Padang Gersang Bernama EDM)
Dikutip wartawan Grid.ID dari VOA, resolusi ini mengukuhkan kembali Yerusalem sebagai kota suci dan status finalnya akan diselesaikan dalam perundingan antara Israel-Palestina di masa depan.
Resolusi ini juga menyatakan setiap keputusan dan tindakan yang bisa mengubah karakter dan status demografi Yerusalem tidak punya kekuatan hukum dan harus dibatalkan.
Pada tahun 2016, UNESCO sebetulnya mengeluarkan rancangan resolusi terkait pentingnya Yerusalem bagi 3 agama, Kristen, Yahudi, dan Islam.
(Baca juga: Tak Gampang Habis, Baterai Ini Mampu Bertahan Selama 100 Hari, Kok Bisa?)
Perbincangan PM Israel dan Presiden Guatemala Lewat Telpon
Kembali dikutip dari RT, sempat terjadi perbincangan lewat telpon antara PM Israel dan Presiden Guatemala pada hari minggu (24/12/2017).
Jimmy Morales berbicara kepada Benjamin Netanyahu, mengumumkan keputusannya untuk memindahkan keduataan Guatemala ke Yerusalem.
"Kami berbicara tentang hubungan baik yang kami miliki sebagai bangsa sejak Guatelama mendukung terciptanya Israel."
Ditekankan dalam kiriman di Facebook, salah satu isu paling relevan adalah, "Kembalinya kedutaan Guatemala ke Yerusalem."
(Baca juga: Panggil Aku Ahed Tamimi, Simbol Perlawanan Kids Jaman Now Palestina, Gigit dan Ajak Ribut Pasukan Israel)
"Aku memberitahu kamu, instruksi telah diberikan kepada kanselir agar memulai koordinasi satu sama lain."
Sebenarnya, Majelis Umum PBB juga menghimbau agar sejumlah negara tidak memindahkan kantor kedutaaanya ke Yerusalem.
Namun negara asal Amerika Tengah ini sepertinya punya inisiatif lain.
"Kami benar-benar yakin ini adalah pilihan tepat."
Israel adalah, "Sekutu Guatemala dan kita harus mendukungnya."
(Baca juga: Pria Palestina Berkursi Roda yang Panjat Tiang Listrik, Perjuangannya Tamat di Moncong Bedil Pasukan Israel)
Kembali dikutip dari RT, di kesempatan berbeda, Netanyahu menyebut sejumlah negara serius mempertimbangkan memindahkan kedutaan ke Yerusalem.
Dalam sebuah pernyataan di hari jumat (22/12/2017), Israel kini tengah terlibat dalam sebuah kampanye diplomatik terpadu untuk mengumpulkan dukungan.
AS dan Israel dalam soal Yerusalem nampaknya kalah telak.
Namun, jalan cerita sepertinya tidak seperti itu.
Sebuah resolusi PBB, pada kenyataannya tidak secara hukum mengikat.(*)
Mendadak Catwalk, Fitri Tropica Bangga Berhasil Ajak sang Suami Tampil Jadi Model
Penulis | : | Ahmad Rifai |
Editor | : | Ahmad Rifai |