Grid.ID - Kabar bangkrutnya Silicon Valley Bank (SVB) menggegerkan dunia.
Bukan tanpa alasan, selama ini Silicon Valley Bank dikenal sebagai bank terbesar ke-16 di Amerika Serikat yang menjadi andalan Statup kelas dunia dalam permodalan.
Namun pada Jumat (10/3/2023) Silicon Valley Bank bangkrut dan ditutup otoritas berwenang AS.
Selama ini SVB dikenal sebagai bank yang menyimpan banyak deposit perusahaan rintisan (startup) sekaligus pemberi pinjaman.
Efek tutupnya SVB berimbas besar terutama dalam bisnis Startup.
Bahkan tutupnya SVB ini menjadikeruntuhan bank terbesar sejak krisis keuangan 2008 dan terbesar kedua yang pernah tercatat dalam sejarah AS.
Apa sebenarnya yang menjadi penyebab Silicon Valley Bank bangkurt hanya dalam waktu 48 jam?
Melansir KompasTekno, Silicon Valley Bank mengalami krisis modal.
Hal ini menjadi pemicu kebangkrutan SVB dan berpotensi memicu adanya efek domino pada industri startup yang lebih luas.
Awalnya SVB mengumumkan telah mengalami kerugian besar dalam penjualan sekuritas pada Rabu (8/3/2023).
Diketahui bila Amerika Serikat sempat memberlakukan kebijakan suku bunga nol persen.
Namun selama pandemi, kebijakan itu memicu ledakan modal ventura.
Dalam kasus ini, pemodal ventura (venture capital/VC) dengan senang hati meminjamkan uangnya kepada para startup, misalnya.
Masalahnya, hal itu kemudian mempercepat laju inflasi.
Sebagai respons, Bank sentral Amerika Serikat, The Federal Reserve (The Fed) menaikkan suku bunga untuk memperlambat inflasi.
The Fed berencana menaikkan suku bunga hingga 5,75 persen secara bertahap. Angka tersebut sangat jauh dari suku bunga 0 persen.
Nah, ketika suku bunga naik, pemodal ventura mengerem atau bahkan berhenti "membuang-buang" uangnya. Modal yang tadinya didapatkan oleh startup dari VC kini seret.
Startup akhirnya mulai menarik lebih banyak uang yang disimpan (deposit) di SVB untuk membayar pengeluaran perusahaan.
Baca Juga: Kunci Jawaban Materi Kelas 5 SD Tema 1, Kenapa Siput Berjalan Sangat Lamban?
SVB pun harus mengeluarkan uang tunai untuk mengakomodir permintaan startup.
Di titik ini, Silicon Valley Bank perlu likuiditas alias uang cash.
SVB pun menjual sekuritas senilai 21 miliar dollar AS atau setara Rp 323,9 triliun.
Penjualan sekuritas itu mengakibatkan kerugian setelah pajak sebesar 1,8 miliar dollar AS atau kira-kira Rp 27,7 triliun.
Untuk menutup kerugian tersebut dan menopang neraca keuangan (balance sheet) perusahaan, SVB berencana menjual dan akan menjual saham baru senilai 2,25 miliar dollar AS atau sekitar Rp 34,7 triliun.
Pengumuman aksi keuangan yang dilakukan SVB itu diumumkan pada 8 Maret.
Pengumuman tersebut ternyata memicu kekhawatiran dari nasabah dan memantik "bank run", kondisi di mana nasabah menarik uangnya dari bank secara massal dan cepat.
Perusahaan modal ventura Founders Fund milik Peter Thiel menjadi salah satu VC yang pertama yang menarik portofolio bernilai jutaan dollar AS dari SVB.
Selanjutnya, banyak VC yang mengikuti Founders Found, seperti Union Square Ventures dan Coatue Management.
Bank run ini terjadi dengan cepat, kurang dari dua hari atau 48 jam.
Menurut laporan The Verge, nasabah SVB mencoba menarik 42 miliar dollar AS deposito pada tanggal 9 Maret saja.
Angka tersebut setara dengan seperempat dari total deposito bank Silicon Valley Bank dalam satu hari.
Pada 10 Maret, Silicon Valley Bank membatalkan rencana penjualan saham senilai 2,25 miliar dollar AS.
Bank yang tadinya besar ini akhirnya menjual dirinya sendiri.
Yang menjadi pertanyaan selanjutnya, bagaimana nasib uang nasabah SVB?
Efek domino kebangkrutan SVB
Sebagian besar bank diasuransikan oleh lembaga pemerintah bernama Federal Deposit Insurance Corporation (FDIC).
Rekening nasabah di Silicon Valley Bank juga diasuransikan oleh FDIC, tetapi hanya sampai 250.000 dollar AS (sekitar Rp 3,8 triliun).
Masalahnya, menurut laporan yang ada, sekitar 90 persen simpanan tidak diasuransikan pada Desember 2022.
FDIC mengatakan "belum ditentukan" berapa banyak simpanan yang tidak diasuransikan ketika SVB ditutup.
Menanggapi kolapsnya SVB tersebut, FDIC menciptakan entitas baru, Deposit Insurance National Bank of Santa Clara, untuk semua simpanan yang diasuransikan untuk Silicon Valley Bank.
Bank tersebut akan dibuka untuk nasabah SVB pada 13 Maret.
Nasabah yang simpanannya tidak diasuransikan oleh SVB, akan mendapatkan dividen di muka dan mendapatkan sedikit sertifikat, tetapi itu bukan jaminan orang akan mendapatkan kembali semua uangnya.
Selanjutnya, FDIC akan menyita aset Silicon Valley Bank sebanyak-banyaknya, lalu mengevaluasi dan menjual aset SVB dalam beberapa minggu atau beberapa bulan ke depan.
Hasil penjualan aset SVB akan diserahkan ke pemegang deposito.
Menurut FDIC, Silicon Valley Bank memiliki total aset sekitar 209 miliar dollar AS (sekitar Rp 3.210,4 triliun) dan total simpanan 175 miliar dollar AS (setara Rp 2.688,1 triliun) pada akhir tahun lalu.
Atau skenario terbaik, ada perusahaan lain yang mau mengakuisisi Silicon Valley Bank.
Hal ini memungkinkan pemegang deposito mendapatkan seluruh uang simpanannya.
Namun, hal itu tak akan terjadi dalam sekejap.
Kebangkrutan SVB dan ketidakjelasan nasib uang nasabah ini berpotensi menimbulkan efek domino.
Dalam kasus startup, dampak segera yang dirasakan startup adalah gangguan pada arus kas (cash flow) perusahaan.
Karena tak bisa mengambil deposito yang disimpan di SVB, startup berpotensi tak bisa membayar gaji pegawainya, membayar sewa kantor, atau biaya-biaya operasional lainnya.
Saat pegawai startup tak mendapatkan gaji, keuangan mereka pun berpotensi terganggu.
Pada akhirnya, pegawai yang tak menerima gaji tepat waktu itu tak bisa membayar sewa rumah, belanja makanan, pengasuh anak, biaya sekolah, hingga bensin, sebagaimana dihimpun dari TheVerge, Senin (14/3/2023).
Apa Dampaknya Bagi Indonesia?
Kolapsnya bank terbesar kedua di Amerika Serikat (AS) Silicon Valley Bank (SVB) berdampak besar bagi pasar pasar AS, tetapi tidak dengan Indonesia.
Senior Investment Information Mirae Asset Sekuritas Indonesia Muhammad Nafan Aji Gusta menyebut, likuiditas di Tanah Air masih memadai di tengah tengah adanya pengetatan likuiditas global. Nafan menilai dengan adanya fundamental makro ekonomi domestik yang solid, perbankan Indonesia masih sustainable untuk menopang pertumbuhan kredit.
“Karena sebenarnya pertumbuhan kredit ini ditopang oleh perekonomian domestik yang resilience,” kata Nafan kepada Kontan.co.id, Minggu (12/3).
Sementara itu, Nafan juga mencermati data kinerja makro ekonomi seperti tingkat cadangan devisa yang masih sangat memadai. Bank Indonesia (BI) mencatat cadangan devisa Indonesia per akhir Februari 2023 mencapai US$ 140,3 miliar.
Menurut Nafan cadangan devisa ini cukup bagi BI untuk menstabilkan nilai tukar rupiah.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Bank Para Startup Silicon Valley Bank Kolaps dalam 48 Jam"
(*)
Profil Norman Kamaru, Mantan Brimob yang Dulu Viral Gegara Joget India 'Chaiyya Chaiyya', Begini Nasibnya Sekarang
Source | : | Kompas.com,Kontan.co.id |
Penulis | : | Grid. |
Editor | : | Ulfa Lutfia Hidayati |