Grid.ID - Musibah gempa di Palu membuat kehidupan warga yang tertimpa bencana menghadapi situasi sulit.
Tak hanya kehilangan tempat tinggal, banyak pula di antara warga yang kehilangan sanak-saudara.
Di tengah kesulitan para pengungsi, para relawan datang memberi bantuan dan pendampingan.
Bukan sekadar materi, relawan juga memberikan hatinya.
Langkah kemanusiaan para relawan, membuat warga di tanah bencana, kembali menata kehidupannya.
Baca Juga : Isra Miraj 2019: Yuk Napak Tilas 3 Tempat yang Pernah Disinggahi Nabi Muhammad
Inilah kisah mereka yang sungguh sangat bermakna.
DEBYAWAN
PENGUNGSI SUDAH SEPERTI KELUARGA SENDIRI
Penampilannya khas layaknya anak pencinta alam.
Perawakannya yang sedang ini mengenakan celana yang dilipat jadi tiga perempat dipadu dengan kaos serta syal serta tak lepas dengan ransel yang selalu menemani ke sana kemari.
“Selain menyukai seni lukis, sejak kecil saya adalah seorang pencinta alam,” ujar Debyawan (30) mengawali percakapan.
Lebih dari itu, Deby merupakan sosok pencinta kemanusiaan.
Itu sebabnya, sejak hari pertama gempa ia tergerak untuk membantu sesama. Sampai hari ini ia terlibat mengurusi kebutuhan para pengungsi.
Sosoknya pun tidak asing lagi bagi para warga penghuni hunian sementara (huntara) yang ada di Duyu.
Baca Juga : Reza Rahadian Ungkap Rahasia Kembangkan Sebuah Karakter Film yang Jarang Dilakukan Oleh Aktor Lain
Meski bukan penghuni huntara, dia sudah seperti bagian dari mereka.
Jika tidak terlihat beberapa hari, saja penghuni huntara Duyu sudah mencarinya.
“Saya dengan para pengungsi seolah sudah seperti keluarga besar,” katanya.
Deby menceritakan, sore itu sesaat sebelum kejadian ia bersama kawan-kawannya sesama pencinta alam menyirami tanaman yang baru saja di tanam di camp pencinta alam di depan stadion Gawalise.
Begitu gempa dahsyat terjadi, masyarakat dengan wajah ketakutan berhamburan naik ke lereng gunung Gawalise.
“Ketika semua warga naik ke lereng gunung, saya malah turun untuk mencari kedua adik saya. Syukur keduanya selamat,” tuturnya.
Berbekal kemampuannya sebagai pencinta alam yang kenyang latihan fisik dan mental, Deby tak mau berpangku tangan.
Apalagi, ia punya pengalaman menjadi relawan ketika terjadi gempa di Sigi tahun 2011.
Di tengah suasana yang kacau balau, ia berusaha mengkoordinir para pengungsi di satu tempat pengungsian.
Tanpa dikomando, ia mendata masing-masing keluarga lengkap bersama anggota keluarganya. “Saya sehari semalam tidak tidur karena mendata 1716 KK lebih,” paparnya.
Baca Juga : Menelisik Suplai Air untuk Warga dengan Kualitas Terjaga
Berdasarkan pengalaman di Sigi, Deby sangat paham, data-data tersebut memang sangat dibutuhkan.
Begitu ada bantuan datang, maka data yang dimilikinya menjadi acuan.
Misalnya saja berapa banyak barang atau makanan yang dibutuhkan para pengungsi.
Data miliknya berguna untuk memastikan semua warga mendapat bantuan tanpa ada satu pun yang tercecer.
Bukan persoalan berat bagi Deby untuk mendata warga sebanyak itu.
Namun, yang paling berat adalah menghadapi pengungsi yang emosinya bergejolak.
Ia sangat memahami kondisi pengungsi yang berasal dari kawasan Petobo itu.
“Kalau sekadar rumah dan harta bendanya saja yang hilang, mungkin masih belum seberapa. Namun, mereka yang juga kehilangan sanak saudara, suasana batinnya pasti berbeda. Saya harus tetap sabar menghadapi mereka. Jadi, pendekatannya harus menggunakan hati,” tegasnya.
Sehari-hari di sela-sela melakukan aktifitas, Deby pun selalu berusaha menjadi seorang “conselor”.
Ia menampung curahan hati para pengungsi tentang banyak hal.
Ia paham, dalam kondisi tertekan, seseorang butuh penyaluran untuk mengeluarkan emosinya.
“Mereka senang sekali ketika curhatnya didengarkan dengan baik. Dari curhat yang mereka sampaikan, saya memahami kebutuhan mereka,” imbuhnya.
Deby pun berharap, para pengungsi kembali tegar menghadapi kehidupan mereka yang sempat porak-poranda.
Mohamad Reza Fahlefi
LELAH SIRNA MELIHAT IBU-IBU TERSENYUM BAHAGIA
Di pengungsian Desa Pombewe, Kecamatan Sigi Biromaru, namanya tak asing lagi. Warga pengungsian merasa begitu dekat karena selang beberapa saat gempa terjadi dia sudah berada di tengah-tengah pengungsi.
Ia sudah melakukan banyak hal untuk memenuhi kebutuhan para pengungsi.
Mulai dari membangun 38 tempat MCK satu di antaranya MCK untuk kaum difabel, membagikan hygene kit, sampai memberi edukasi kepada pengungsi.
Tentu banyak hal lain yang ia lakukan terutama untuk memenuhi kebutuhan dasar para pengungsi seperti kebutuhan makan, pakaian, dan pemenuhan air bersih. Ia berjuang keras agar kebutuhan dasar mereka terpenuhi.
Tak heran, berkat pengabdiannya, Mohamad Reza Fahlevi, nama pemuda ini, sudah menjadi bagian dari para pengungsi.
“Ya, karena setiap hari berkumpul dengan pengungsi, mereka seperti keluarga sendiri,” kata relawan yang masih duduk sebagai mahasiswa Fakultas Teknik Sipil Universitas Tadulako tersebut.
Persahabatannya dengan pengungsi membuat Reza mengenal betul karakter mereka. Ia kagum dengan perjuangan para pengungsi yang di bawah koordinasinya itu.
Meski hidup di tengah suasana yang penuh keterbatasan, mereka berjuang saling bahu membahu menata kehidupan baru.
Baca Juga : Perjalanan Karier Bunga Citra Lestari Sebagai Penyanyi, Banyak Belajar dari Ketidaktahuan dan Kekurangan
Selain tinggal di tenda seadanya, salah satu persoalan besar adalah tidak adanya sumber air. Apalagi lokasi di Desa Pombewe berada di padang savana yang cukup jauh dengan desa lainnya.
Tak ada pilihan lain, mereka mencari air seadanya dari kubangan-kubangan atau saluran-saluran air yang letaknya jauh dari lokasi pengungsian.
“Mau bagaimana lagi? Saat itu memang tidak ada sumber lain,” imbuh Reza seraya mengatakan, itulah salah satu pengalaman yang tak terlupakan.
Buah kerja keras Reza bersama warga tak sia-sia. Pipa paralon karet yang dialiri air sungai jernih itu tersambung dengan baik. Desa Pombewe yang semula kering kerontang teraliri air melimpah.
Air dari pipa tidak langsung disalurkan ke rumah warga tetapi ditampung di dua buah tanki kapasitas 5500 liter.
Mesar
SUDAH DAPAT BAYARAN, DAPAT PULA SUPLAI AIR BERLEBIHAN
Raut bahagia tampak jelas terpancar dari wajah Mesar (43). Bapak tujuh anak yang tinggal di Dusun 2 Desa Walandanao, Donggala itu gembira lantaran desanya tak akan kekurangan air lagi.
Air macet akibat saluran air yang hancur berantakan akibat gempa itu kini sudah ada pengganti.
Lelaki bertubuh tegap ini menceritakan, beberapa hari setelah gempa warga desa sangat resah.
Warga di dusunnya memang tidak ada korban karena sebagian besar rumah terdiri dari kayu.
Namun, masalah besar menghadang mereka. Saluran air yang bersumber dari mata air dari lereng bukit yang sehari-hari mengalir ke kampung itu mati.
Akibatnya, air memang masih tetap mengalir tetapi debitnya menjadi sangat kecil.
“Dulu sebelum gempa saja, aliran air tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan warga dusun berjumlah 80 KK. Usai gempa, tentu kebutuhan air makin sulit. Karena debit air kecil, warga setiap hari harus sabar bergantian untuk mendapat aliran air,” kisah Mesar.
Di tengah kegelisahan warga, kedatangan para relawan JMK-OXFAM membawa harapan.
Saat ini, lanjut Mesar, puluhan warga lelaki dan perempuan itu berbagi tugas.
Sebagian menggali tanah yang akan dibuat menanam pipa, sebagian lagi mengangkat pasir dan semen.
Bayu Novianto
PENDEKATAN ALA NGOBROL WARUNG KOPI
Tak mudah menjadi relawan di masa bencana. Relawan harus memiliki banyak cara agar masyarakat yang didampingi bisa mengikuti apa yang diinginkan. Untuk membangun rasa saling percaya, tidak bisa dilakukan secara instan. Butuh waktu yang cukup panjang.
“Untuk menumbuhkan rasa saling percaya, saya dari pagi sampai dinihari bersama mereka di pengungsian,” kata Bayu Novianto.
Bayu yang berasal dari Kediri, Jawa Timur, menceritakan sebulan setelah gempa, dia terjun ke kawasan pengungsian di Duyu.
Begitu sampai lokasi, Bayu mulai membangun interaksi dengan pengungsi. Setelah hubungan terjalin akrab, Bayu melakukan edukasi kepada para pengungsi untuk berlaku hidup sehat.
Ia melakukannya dengan cara yang tidak formal. Setiap hari ia melakukannya lewat obrolan santai.
“Kalau siang saya ngobrol sama ibu-ibu, sore sampai malam hari saya ngopi bareng sama bapak-bapak sampai larut malam. Nah, saat ngobrol itulah saya sampaikan misi untuk hidup sehat,” papar Bayu.
Selain itu, Bayu juga mengedukasi anak-anak pengungsi. Caranya berbeda lagi. Ia mengemasnya dengan suasana bermain.
Baca Juga : Edward Akbar Ungkap Alasan Pernikahannya dengan Kimberly Ryder Digelar Secara Sederhana dan Tertutup
“Kepada anak-anak, saya membuat game-game ringan, misalnya permainan ular tangga. Nah, di dalam bagian-bagian permainan tersebut ada pesan-pesan tentang menjaga kebersihan, misalnya cuci tangan pakai sabun. Dengan media bermain, anak-anak lebih mudah menerima pesan,” papar Bayu.
Selain itu, Bayu juga melakukan pendekatan dengan key person atau tokoh-tokoh berpengaruh di sana.
Cara ini memudahkannya bisa masuk ke lingkungan pengungsi. Ide-idenya pun bisa leih cepat diterima.
Tentu saja, ia juga mesti menjalin hubungan akrab dengan pihak pemerintah.
Bayu memberi contoh masalah yang sempat dihadapi pengungsi.
Kala itu, pemerintah akan memindahkan pengungsi ke tempat hunian sementara alias huntara. Sebagian di antara pengungsi masih saja ada yang keberatan.
Alasannya, mereka akan tinggal dalam satu kompleks dengan para tetangga baru yang belum pernah dikenalnya.
Satu kompleks huntara memang ditempati pengungsi yang berasal dari kawasan berbeda. Padahal, fasilitas di huntara digunakan bersama-sama, seperti dapur umum dan kamar mandi umum.
Bayu mengatakan, “Persoalan demikian biasanya membuat para calon penghuni enggan untuk tinggal di huntara,” cerita Bayu.
Gandhi Wasono M.
5 Arti Mimpi Melihat Sawah Bersama Pasangan, Ternyata Pertanda Saling Mendukung Hal Ini, Simak Penjelasannya